Nyaris semua dari mereka berjanggut, dan mengenakan ikat kepala biru cerah. Mereka bukan pasukan ISIS reguler, tapi unit pasukan elit khusus Islamic State.
Pekan lalu, sebelum menyerang Al-Sukhna, kota di tengah Suriah, mereka berkumpul mengelilingi komandan mereka untuk mendapatkan pengarahan dan strategi penyerangan.
"Menang atau mati syahid," teriak mereka bersamaan.
Mereka bersumpah hanya setia kepada Allah, dan tidak pernah berpikir untuk mundur, demikian Lapor AFP.
ISIS menyebut mereka Inghemasiyoun, kata dalam Bahasa Arab yang berarti mereka yang 'membenamkan diri'.
Mereka adalah senjata ISIS paling mematikan, dengan disiplin tinggi, mampu menyusup sampai jauh ke garis belakang pertahanan lawan, dan bertempur sampai mati.
Rata-rata dari mereka mengenakan sabuk bahan peledak. Dalam keadaan terdesak, mereka akan berusaha mendekat pasukan lawan dan meledakan diri. Mereka adalah kisah sukses ISIS di banyak pertempuran penting, termasuk di Al-Sukhna.
"Mereka menimbulkan kekacauan di kubu lawan, sebelum serangan darat utama dimulai," ujar Redur Khalil, juru bicara Unit Perlindugan Kurdi (YPG), yang menghadapi mereka di medan tempur.
Komandan-komandan tempur dan intelejen Irak juga mengaku Inghemasiyoun sangat terorganisir, fleksibel, efektif, dan mematikan. Lebih penting lagi, menurut seorang komandan senior Kurdi, mereka kreatif.
"Ketika pasukan lain berlindung saat terjadi badai pasir, mereka bergerak, memanfaatkan badai pasir sebagai pelindung," ujar seorang komandan senior Irak.
"Mereka menempatkan sniper di atas pohon, untuk menyasar musuh yang berada di bawah," lanjutnya.
Lebih penting lagi, Inghemasiyoun memadukan taktik perang konvensional dan gerilya, dengan pergerakan cepat seolah tanpa lelah, dengan dukungan Humvee.
"Mereka menggunakan aksi bom bunuh diri untuk menjatuhkan moral pasukan lawan," kata Khalil.
"Kini, mereka menggunakan cara baru; melapisi tubuh dengan lempeng besi, dan terkadang meledakan diri sebelum waktunya, hanya untuk menakuti lawan."
Andreas Krieg, profesor King College yang berbulan-bulan mengikuti pejuang Kurdi, mengatakan komandan lokal ISIS diberi kelonggaran beroperasi. Setiap komandan bertindak independen, sehingga bisa beradaptasi dengan cepat dengan situasi di medan tempur.
"Ini bertolak belakang dengan pasukan Irak, yang terikat dengan hirarki kaku, tidak efisien, dan korup," ukar Krieg.
ISIS sangat disiplin. Hukuman bagi pelanggar disiplin adalah kematian. Maka, tidak akan ada serdadu tertidur pulas saat berjaga, atau mundur ketika yang lain berlarian menjemput peluru.
Tidak aneh jika ISIS merebut Mosul lewat serangan kilat, dan membuat sebagian besar artileri pasukan Irak dan tank tak berfungsi sama sekali. Kini semua senjata itu direbut ISIS.
Sukses ini diulang ISIS di Ramadi. Saat itu, Ramadi dipertahankan 6.000 pasukan Irak. ISIS menyerang dengan 150 pasukan khusus, dan menang. Semua itu terjadi di depan mata para jenderal AS dan Irak. Sesuatu yang memalukan Irak dan Barat.
Letjen Abdul Wahab al-Saadi, salah satu komandan tentara Irak, mengatakan ISIS menonjol dalam kemampuan melakukan beberapa pertempuran secara bersamaan.
"Militer Irak hanya bisa menjalankan pertempuran besar dalam satu waktu," ujar Al-Saadi, yang dua kali terluka dalam pertempuran merebut Baiji dan Tikrit.
Serdadu ISIS di Suriah dan Irak diperkirakan antara 30 ribu sampai 60 ribu. Mereka berasal dari banyak hampir seluruh negara di muka bumi ini.
Di antara mereka, serdadu Chechnya, Somalia, dan Afghanistan, berbagi pengalaman tempur dengan jihadis dari mancanegara.
Di Kobane, ISIS gagal total. Seorang pejuang Kurdi mengatakan kegagalan ISIS lebih disebabkan keterlibatan pesawat pembom AS.
"Saat kami tahu mereka mundur akibat pemboman AS, diam-diam mereka meninggalkan 70 pasukan di dalam kota," ujar Ghalia Nehme, seorang komandan Kurdi.
"ISIS berusaha mengacaukan pasukan Kurdi, dengan pasukan kecil tanpa dukungan. Mereka tidak bertempur untuk menang, tapi mati dan menimbulkan banyak korban," lanjutnya.
Penggunaan bom bunuh diri, menurut Al-Saadi, memaksa lawan ISIS beradaptasi. Tentara Irak tak bisa melakukannya.
Itu terlihat saat Al-Saadi meminta para komandannya merebut Baiji, dan gagal. ISIS menguasai hampir seluruh Baiji, setelah pertempuran beberapa hari.
Di Tikrit, milisi Syiah mencoba mengdopasi cara ini, tapi tidak berhasil. Milisi Syiah memang bisa merebut Tikrit, tapi setelah serangan udara ke pusat kota.
Sebelum serangan udara, hampir tidak ada unit yang berani memasuki kota untuk bertempur dengan sniper ISIS di medan penuh ranjau dan bom.
Di sisi lain, ISIS juga beradaptasi. Mereka menggunakan drone yang dilengkapi kamera untuk memantau posisi lawan. Lainnya, ISIS memiliki peralatan komunikasi yang lebih unggul, dengan komunikasi radio dua arah dan berdaya jangkau lebih jauh dibanding milik militer Irak.
Jenderal Ali Omran, komandan Divisi 5 Irak, menyaksikan semua itu.
"Lebih menarik lagi, ransum pasukan ISIS lebih menarik dibanding pasukan ISIS," ujarnya.
"Pasukan ISIS masih bisa menikmati daging ayam dan kebab di tengah pertempuran. Pasukan Irak makan seadanya," demikian Jenderal Omran.
Patrick Skinner, mantan anggota CIA, mengatakan satu-satunya kelemahan ISIS adalah tidak memiliki angkatan udara.
JOIN