TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

#TAGatjehcyber Home / /

Sabang, “Sabee Saban” tanpa Perubahan

Sunday, December 04, 2011 19:25 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior

FREEPORT (Pelabuhan Bebas) Sabang adalah bagian pengulangan sejarah kejayaan masa lalu yang sangat diidamkan masyarakat terutama penduduk Pulau Weh, sekaligus ingin bernostalgia ketika era 1960-an, Sabang mengalami masa jaya. Saat itu Presiden Soekarno melalui Perdana Menteri J Leimeina menerbitkan Penetapan Presiden (penpres) yang memerintahkan persiapan Sabang menjadi pelabuhan bebas.

Kejayaan Free Port pada era 1980-an memang mendatangkan manfaat bagi masyarakat bukan saja tuan rumah tapi juga penduduk daratan. Roda perekonomian berputar cepat nyaris tak mengenal waktu. Pintu rezeki terbuka di mana-mana, mulai anak kecil hingga orangtua ikut menikmatinya. Maka, wajar keputusan pemerintah menghidupkan kembali pelabuhan bebas Sabang adalah bagian yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh.

Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881. Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. 

Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibombardir pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian terpaksa ditutup.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

Gagasan itu kemudian diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Pada tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diprakarsai BPPT dengan fokus kajian ingin mengembangkan kembali Sabang. Disusul kemudian pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya.diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Keppes No. 171 tanggal 28 September 1998.

Era baru untuk Sabang, ketika pada tahun 2000 terjadi Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid di Sabang dengan diterbitkannya Inpres No. 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000. Dan kemudian diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.


Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pada tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Namun, status Darurat Militer (DM) Mei 2003 menyebabkan masa depan free port Sabang terhenti. Pemerintah membatasi semua aktivitas sehingga tak ada investasi dan lalulintas perdagangan di Sabang.

Kecuali karena DM, harapan masyarakat juga pemerintah pada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) pun sirna. Badan yang seharusnya menjadi tumpuan warga tak bisa berbuat banyak. Keterbatasan wewenang BPKS menjadi alasan lembaga ini tak ubahnya seperti anak manis. UU no. 37 tahun 2000 tentang free port Sabang ternyata tak memiliki kekuatan penuh karena pemerintah tidak pernah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk teknis. 

Bahkan upaya sejumlah pengusaha mengimpor mobil bekas dari Singapura sia-sia karena pengurusan bea masuk yang sangat rumit. Mobil impor negeri singa itu pun menumpuk di Sabang bahkan sebagian menjadi besi tua akibat kepabeanan yang tak jelas. Alhasil, mobil bekas itu hanya boleh bersileweran di pulau itu tanpa bisa berlabuh ke daratan Sumatera atau tempat lain.

Ironisnya, sebagian mobil itu pun harus direekspor atau diekspor ke negara lain karena tak jelas nasib dan untuk menghindari kerugian lebih besar. Ketidakjelasan status hukum Sabang, bukan saja merugikan Aceh, tapi juga meyakitkan bagi importir mobil Sabang yang terlanjur investasi di bisnis ini. Demikian juga BKPS yang diharapkan menjadi mediator bergerak lamban.

Kendati tak ada kinerja yang membanggakan, pemerintah masih mempercayakan BPKS mengelola pulau itu. Kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang yang meliputi pulau Weh, Pulau Aceh dan Pulau Breuh masih mendapat suntikan dana. Bahkan, plot anggaran untuk BPKS setiap tahun bertambah.

Sebaliknya, sepak terjang BPKS masih jalan di tempat. Perombakan struktur BPKS juga tak bisa mendongkrak kinerja lembaga tersebut. Yang tersisa hanya ‘utang” karena penggunaan anggaran diduga tidak jelas. Puncaknya, perseteruan BPKS dengan walikota Sabang pun memuncak. Perang opini menjadi sajian rutin.

Fenomena ini ternyata menyedot perhatian berbagai pihak. Kalangan LSM antikorupsi seperti Gerak dan Fakta pun bersuara. Dugaan korupsi di tubuh BPKS pun dilansir. Sebuah dokumen yang dilaporkan warga kepada presiden 3 Agustus 2009 membeberkan dugaan korupsi sebesar RP 1. .000.- diduga terjadi di BPKS sepanjang kurun waktu 2006-2009.

Laporan penilaian yang dikeluarkan Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Kementerian Perencanaan Pembangunan/ Bappenas tahun 2009 menyebutkan dugaan korupsi terjadi pada biaya perencanaan senilai Rp. 117 miliyar sebagai lanjutan program pembelian tanah senilai 337 miliyar rupiah. Bahkan tahun anggaran 2010 BPKS telah membeli tanah seharga 200 miliyar rupiah. Demikian juga dengan misi dagang yang menelan anggaran Rp 5,944 miliyar, pengembangan sarana dan prasarana SDM senilai Rp 84, 422 miliar.

Pembangunan dermaga pelabuhan Teluk Sabang yang menguras dana Rp 437, 978 miliyar yag dikerjakan Nindia Sejati jo dan Anderson Sakti. Bahkan kesimpulan terakhir BPK RI bahwa pembangunan dermaga bongkar senilai Rp 8,020 miliyar tidak bermanfaat. BPK RI juga menemukan kelebihan pembayaran pekerjaan pembangunan dermaga tersebut sebesar Rp 2, 726 miliyar. Belum lagi sejumlah kontrak proyek Sabang lainnya.

Tanpa harus perlu mencari kambing hitam, rakyat juga pemerintah menunggu menunggu aksi bukan janji apalagi strategi. Jangan sampai, dana rakyat dari APBN dan APBA akan “menguap” begitu saja. Jangan sampai masyarakat Sabang bahkan Aceh akan berkata; “Sabang Sabe Saban”. Maksudnya, Sabang dari dulu selalu sama alias tak pernah ada perubahan meski BPKS itu sudah ada.

KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved