
Salah seorang punk berdoa usai wudhu saat akan melaksanakan shalat Jumat
di masjid SPN Seulawah, Aceh Besar, Jumat.
Jakarta (detik.news) - Langkah Polda Aceh menggunduli 60 Anak punk menuai kontroversi. Tindakan itu pun diekspos media Australia hingga Eropa. Nah, Polda Aceh pun memberi penjelasan. Langkah penggundulan itu bukan pelanggaran HAM, melainkan untuk membina agar anak-anak itu menjadi lebih baik.
"Jadi kan begini, mereka itu dibina di sekolah polisi. Sesuai tradisi, mereka harus dimandikan dan digunduli. Dan mereka senang-senang saja," kata Kabid Humas Polda Aceh AKBP Gustav Leo saat dihubungi detikcom, Jumat (16/12/2011).
Gustav bercerita hal ikhwal anak-anak punk ini 'disekolahkan' di sekolah polisi. Pada Sabtu (10/12) lalu, ada 65 anak punk yang kedapatan mengumpulkan uang di jalan. Mereka meminta uang kepada pengendara di Banda Aceh.
"Karena tidak ada izin, anak-anak punk itu dirazia Satpol PP. Lalu karena ditemukan narkotika dan senjata tajam, akhirnya dikoordinasikan dengan Polresta Banda Aceh," jelas Gustav.
Karena masih remaja, pihak kepolisian dan Pemkot Banda Aceh pun menghubungi orang tua anak punk itu. Tetapi, orang tua menyerahkan kepada pemkot dan polisi untuk dibina.
"Saat ditangkap ada narkotika, tetapi tidak jelas siapa pemiliknya karena barangnya dikumpulkan semua. Ditanya juga tidak ada yang mengaku. Kemudian mereka ini hanya punya baju satu lembar dan banyak yang tidak mandi. Orang tua pun menyerahkan ke kita," jelasnya.
Akhirnya, digelar pembinaan bagi anak-anak punk ini. Dari 65 anak, 6 orang di antaranya perempuan. "Di sekolah polisi juga tidak ada kekerasan, mereka berlatih olahraga, outbond, dan banyak yang positif lainnya," terang Gustav.
Dia berharap masyarakat dan publik sadar, bahwa anak-anak punk ini harus dibina dan jangan dibiarkan hidup di jalanan. "Kita tidak ada dana untuk membina mereka. Tapi kita upayakan, jangan sampai mereka malah menjadi korban di jalan karena meresahkan masyarakat," tutur Gustav.
Polda Aceh berharap masyarakat memaklumi langkah membina anak punk. Jangan sampai kemudian, para remaja yang berdandan ala punk itu justru menjadi korban kekerasan di jalan. Selama ini banyak masyarakat yang resah kala anak punk itu meminta uang di jalan.
"Mereka itu kan kerjaannya tukang palak, ada yang memakai narkotika. Nah ini kan meresahkan masyarakat, bagaimana kalau masyarakat mengambil tindakan. Selama ini sudah banyak laporan yang masuk," jelas Kabid Humas Polda Aceh, AKBP Gustav Leo, saat dihubungi detikcom, Jumat (16/12/2011).
Polda Aceh dan Pemkot Banda Aceh pun mengambil langkah pembinaan. Usai penangkapan anak punk pada Sabtu (12/12) lalu, mereka dibina di sekolah polisi. Anak punk ini digunduli dan dimandikan. Kemudian di sekolah polisi itu, 65 anak punk dibina dan mendapatkan pelatihan olahraga serta outbond. Tidak ada kekerasan.
"Kita khawatir, kalau didiamkan tidak dibina, anak punk ini berpotensi menjadi pelaku kriminal. Saat penangkapan lalu, mereka sedang meminta uang di jalan. Kemudian ditemukan narkotika dan senjata tajam," jelasnya.
Pendidikan bagi anak punk ini dilakukan selama seminggu. Mereka pun, berdasarkan laporan kepala sekolah di sekolah polisi itu banyak yang merasa senang.
"Kita berharap setelah dididik, teman-teman NGO bisa membina mereka. Karena kita tidak ada dana," tutur Gustav.
Sedikitnya 60 anak punk ditangkap polisi syariah di Nangroe Aceh Darussalam usai menonton konser. Mereka juga digunduli karena dianggap menodai citra Aceh. Kasus ini pun menjadi perhatian sejumlah media asing, mulai dari media Australia hingga Eropa dan Amerika.
Seperti diberitakan kantor berita AFP, Rabu (14/12/2011), penangkapan ini dilakukan pada Sabtu (10/12) lalu di Banda Aceh. Sebanyak 59 pemuda laki-laki dan 5 pemudi ditangkap polisi syariah. Para pemuda digunduli dan para pemudi dipotong pendek rambutnya. Mereka kemudian disuruh untuk mandi di danau, lantas berganti pakaian dan shalat.
***
|
JOIN