WALI Nanggroe makin hangat diperbincangkan. Namun banyak yang tak memahami secara massif duduk persoalannya. Misal bagaimana bentuk, historia, fungsi dan esensi lembaga tersebut. Semua kelompok seakan berlomba menafsirkan, memberi argumentasi bahkan memelintir atas sejarah dan konsep Wali Nanggroe dengan mengutip berbagai referensi. Ironinya, berbagai argumentasi yang dikembangkan belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Itulah yang diretas dalam diskusi komunitas Panteue.
Diskusi yang dinarasumberi M Adli Abdullah (penghimdat sejarah dan adat Aceh) mencoba mendedah aspek historia, konsep, fungsi dan peran Wali Nanggroe dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh tempo dulu. Gagasan itu sendiri diilhami atas wacana menyusul adanya rancangan qanun Wali Nanggroe produk UUPA pasca perjanjian damai GAM dengan pemerintah RI di Helsinki, Agustus 2005.
Masalahnya, dalam poin ketujuh dari butir pertama MoU Perdamaian itu, menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya”. Maka posisi lembaga itu hanya diposisikan sebagai bagian dari kebudayaan dan tradisi masyarakat Aceh. Namun dalam Raqan baru diberikan power, seperti berhak memberhentikan kepemimpinan formal seperti gubernur Aceh bila dianggap melakukan sesuatu kesalahan.
Kecuali itu, ada kecenderung memelintir sejarah dan esensi “wali nanggroe” ketika lembaga ini diklaim hanya milik suatu kelompok sehingga tidak mengakomodir atas kehendak rakyat Aceh. Padahal catatan sejarah, jabatan wali naggroe pernah diemban oleh sejumlah tokoh. Selain nama Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili juga pernah menjadi wali kerajaan Aceh).
Diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dausyah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, menurut Adli Abdullah, bahwa dalam daftar dalam Piagam Bate Kureng, sama sekali tidak ada nama Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro.
Cap Sikureung, Cap Stempel Sekaligus Lambang Keurajeun Aceh Darussalam
Di samping itu, dalam sejarah Aceh, cap sikureung sebagai simbol kerajaan Aceh yang pernah diberikan kepada Tgk. Chik di Tiro setelah kewafatan beliau 1891 ternyata diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005: 275). Apakah keturunan Habib ini juga bisa digelari sebagai Wali Nangroe? Menurut sejarah cap sikureung ini sangat penting untuk sebagai simbol pemerintahan kerajaan Aceh dan pengaruhnya sangat luar biasa bagi siapapun yang memiliki stempel kerajaan Aceh tersebut.
Kenyataan sejarah bahwa pemimpin perang Aceh yang terakhir adalah adik Tgk. Mat Amin (wafat 1896) yang bernama Tgk. Di Tungkeb alias Tgk. Beb (Ibrahim Alfian, 1987: 161). “Saya memandang wali “nanggroe” memiliki posisi mulia setingkat maqam aulia,” ujar seorang peserta. Artinya, posisi Wali adalah pelindung atau penolong bagi suatu kaum manusia.
Mereka dikenal wara’ dan dekat dengan Allah dan memiliki kekeramatan (karamah al-auwliya) yang amat luar biasa. Dua hal inilah yang pernah dimiliki oleh Tgk. Hasym Banta Muda atau Tgk Chik di Tiro dengan semangat jihadnya. Karena itu, menurut sejarah pula, bumi Aceh adalah tanoh aulia (tanah para wali).
Jadi, gelar Wali bukan hanya Gekas adat dan budaya tapi juga gelar keagamaan. dimana mereka terkadang menjadi penasihat Raja atau menjadi pemegang otoritas keagamaan yang paling tinggi. “Inilah yang sekarang mulai dipelintir sejarahnya dan perlu kita jelaskan dan pertegaskan,” ujar Tgk Ramli Adali, seorang sejarawan dan penulis buku.
Wali nanggroe tidak bisa diingkari karena itu adalah sejarah, namun perlu diletakkan dalam format yang benar bukan sebatas kepentingan kekuasaan, atau hanya sebuah lembaga adat dan budaya sebagaimana yang diterjemahkan saat ini.
Rakyat Aceh harus paham tentang Wali seungguhnya. Mari kita telusuri jejaknya Karena kita boleh awam dan bodoh tentang sejarah, tapi sejarah tidak boleh dibodoh-dibodohi apalagi dianiaya. Sejarah harus dipeutimang jika negeri ini ingin berjaya. Dalam satu bait lagu Rafli disairkan; Amanah endatu beugeod tapapah, bek gadoeh tuwah wangsa mulia; Mulia ureung cit bak tuwah; wangsa meutuwah bek taboeh kada.
Referensi : Serambinews.com
JOIN