Kuala Lumpur (atjehcyber) - Mall Kota Raya yang biasanya ramai dipenuhi imigran tampak sepi. Demikian juga Mara Digital Mall yang jaraknya 2 kilometer.
The Straits Times mengabarkan Jumat (25/12/2015), suasana sepi kedua pusat perbelanjaan di Kuala Lumpur itu, tak terlepas dari perkelahian massal berbau rasialis. Yakni antara penduduk Melayu dengan kelompok Tionghoa, yang kebanyakan menjadi penjual telepon pintar di pusat perbelanjaan.
''Kedua kelompok tidak saling percaya lagi. Ditambah dengan kondisi ekonomi yang melorot dan pemerintahan yang kurang tegas,'' tutur Ibrahim Suffian, direktur perusahaan poll pendapat Merdeka Centre.
Perseteruan itu dipicu oleh kasus penipuan yang dilakukan penjual telepon selular keturunan Tionghoa terhadap seorang pembeli pribumi, di Mall Kota Raya Juli lalu. Buntutnya 20 pemuda Melayu menyerang Kota Raya yang menjadi pusat penjualan telepon selular Malaysia.
Kasus rasialis ini berkembang pula hingga Low Yat Plaza, setelah Mohammad Ali Baharom memberi orasi anti-China di luar Plaza tersebut. ''Kaum Melayu akan bangkit dan menantang pedagang China di Malaysia,'' teriaknya. Ali Baharom ditahan beberapa hari dan dibebaskan dengan jaminan.
Melihat hal ini, Ismail Sabri Yaakob, salah satu menteri Malaysia dan pemimpin partai terbesar UMNO, mendirikan Mara Digital Mall, khusus bagi pengusaha pribumi. Mall yang berada di salah satu gedung milik Pemerintah Malaysia itu memberi banyak kemudahan. Termasuk membebaskan biaya sewa bagi pengusaha telepon genggam.
Sejak itu perseteruan rasial antara kelompok Tionghoa dan Melayu makin berkembang. Lebih-lebih semakin banyak kelompok pribumi yang menuduh etnis China melakukan kecurangan. Di antaranya kelompok Isma dan Asosiasi Konsumen Islam. Perseteruan antaretnis ini makin berkembang hingga kini.
Kelompok minoritas China yang bergabung dalam kelompok berkaos kuning di bawah nama 'Bersih', melawan kelompok pribumi berkaos merah yang mendukung pemerintahan PM Najib Razak yang diduga menilap dana 1 miliar.
''Bila terjadi perebutan kekuasaan di lapisan atas, maka politik rasialisme akan dimainkan pula,'' tutur Dr. Oh Ein, salah satu pengajar di Studi Internasional S. Rajaratnam, Singapura. ''Perhatian rakyat dialihkan dari perebutan politik di tingkat atas,'' lanjutnya.
INL | The Straits Times
JOIN