Polemik muncul terkait Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang ditandatangani pada 8 Oktober lalu.
Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo menyebut Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/6/X/2015 berpotensi menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Yakni sebagai sarana membatasi kebebasan berpendapat.
Dia menyebut SE Kapolri itu bisa dimaknai sebagai bentuk lain dari pendekatan keamanan (security approach) untuk membungkam kebebasan masyarakat mengemukakan pendapat. Bahkan, ada asumsi bahwa SE Kapolri itu sebagai bentuk lain dari pasal mengenai larangan menghina presiden.
“Jadi mengkritik presiden langsung bisa dihukum,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (6/11).
Agar SE itu tidak melumpuhkan prinsip demokrasi, sosialisasi SE itu, kata dia, harus intensif agar dipahami semua elemen masyarakat. Kapolri dan seluruh jajarannya harus memberi jaminan kepada publik bahwa SE itu tidak menyasar siapa pun yang mengritik pemerintah.
“Sangat penting bagi Polri untuk membuat rumusan yang jelas dan tegas dalam membedakan makna kritik dengan fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. Agar masyarakat tak menjadi bingung dengan kebijakan ini,” jelasnya.
Tentu saja publik juga butuh jaminan bahwa SE Kapolri itu tidak akan disalahgunakan sebagai alat politik penguasa dan keluarganya.
Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan pejabat tinggi lainnya tidak boleh menunggangi SE Kapolri itu untuk membungkam arus kritik dari masyarakat.
Kembali ke Zaman Orba
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) pun angkat suara tentang surat edaran itu. Mereka mengingatkan agar SE Kapolri tak kembali pada zaman orde baru (Orba). Sebagaimana diketahui, saat itu gerakan sosial telah dibungkam dengan mengatasnamakan Undang-Undang (UU).
"Kemajuan proses demokrasi dan mengeluarkan pendapat dan berekspresi di Indonesia jangan dicederai oleh hal-hal yang bersifat over reactive dari pemerintah dan aparat keamanan," kata Presiden KSBSI Mudhofir, Selasa (3/11).
Mudhofir mengakui, SE itu merupakan hak dan kewenangan Kapolri karena bersifat internal. SE juga berguna sebagai pedoman dan rujukan anggota Polri dalam bertugas di lapangan. Namun, pihaknya menilai implementasi SE itu bisa berpotensi membunuh kebebasan berpendapat.
Hal yang sama juga ada dalam peraturan gubernur (Pergub) DKI Nomor 228 Tahun 2015 tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka. Pergub itu dikeluarkan pemerintah untuk membatasi ruang gerak publik dalam berekspresi.
ROL / JPNN
JOIN