Dua tahun berlalu sudah sejak kota Meiktila, Myanmar, hangus dilalap api kebencian. Lihatlah lebih dekat, dan akan nampak bekas luka yang masih menghantui hingga kini.
Masjid-masjid masih berdiri, meski sudah mengarang, terjarah, dan dijajah semak belukar.
Sementara itu, bangunan yang tak terlalu parah kerusakannya berkat kekerasan kaum mayoritas Buddha Meiktila melawan minoritas Muslim telah ditutupi dengan papan oleh otoritas lokal. Mereka enggan menjawab pertanyaan media tentang mengapa itu dilakukan.
Dilansir CNN, Selasa (3/11), setidaknya 44 orang tewas di hari-hari bentrokan pada April 2013, setelah percekcokan pecah antara warga Muslim dan Buddha di sebuah pasar di Meiktila, menurut tokoh resmi setempat.
Ditanya tentang apakah kekerasan bisa meletus lagi, seorang biksu lokal, U Wie Douktah, menjawab, "Kemungkinannya setengah-setengah."
Di tengah negara yang mayoritas Buddha dan semboyan anti-Muslim terus menjadi wacana utama, U Wie Douktah menjelma simbol toleransi.
Saat kekerasan mengguncang dua setengah tahun lalu, kepala biara berusia 57 tahun itu bersama murid-muridnya menyediakan tempat perlindungan bagi 900 Muslim di biara mereka.
Mereka kemudian diserbu oleh massa berparang saat tengah malam. Ketika dipaksa menyerahkan kaum Muslim, Douktah menolak. Dirinya dan murid-muridnya berdiri menjaga pagar hingga subuh.
"Dia menyelamatkan nyawa banyak orang, jadi itu sangat, sangat penting," ujar U Aung Thein, seorang pengacara Muslim, yang mendampingi Douktah selama pertemuan dengan pemimpin Muslim lain di biaranya pada akhir Oktober silam.
Sang biksu menyebut ketegangan agama belum lama ini sengaja dibuat-buat.
"Semuanya politis," ujarnya. "Sebenarnya tidak ada masalah antara komunitas agama itu sendiri. Tetapi itu telah dipengaruhi oleh kelompok politik."
Biksu Radikal ultranasionalis
Buku Fakta Dunia CIA memperkirakan Myanmar, atau terkenal juga disebut Burma, secara kasar ditinggali 90 persen warga Buddha.
Simbol-simbol agama Buddha terlihat di kota terbesar kedua di Myanmar, Mandalay, ketika publik berjejal menyalakan lilin di pagoda dan kuil demi merayakan Festival Bulan Purnama, hari libur Buddha yang luas disebut Thadingyut, akhir Oktober lalu.
Seolah ingin terus mengipasi konflik antaragama di Myanmar, sejumlah biksu besar berseru bahwa ajaran Buddha tengah terancam di negara itu.
Dalam wawancara bersama CNN, biksu terkenal U Wirathu tak ragu menyatakan apa yang menurutnya menjadi ancaman nomor satu bagi agamanya: Muslim.
"Hukum mereka mewajibkan perempuan Buddha yang menikah dengan umatnya untuk pindah agama (ke Islam)," katanya. "Mereka menikahi banyak perempuan dan punya banyak anak. Dan ketika populasi mereka meningkat, mereka mengacam kami. Dan," ia menyimpulkan, "mereka itu jahat."
U Wirathu adalah pendiri gerakan ultranasionalis Buddha, Komite untuk Perlindungan Ras dan Agama, alias Ma Ba Tha.
Gerakan tersebut aktif menyebar pamflet dan khotbah, di mana U Wirathu menyerukan boikot bagi bisnis yang dimiliki Muslim, meskipun menurut sensus resmi teranyar, hanya 4 persen dari penduduk Myanmar yang menganut Islam.
"Di mana Muslim tinggal, di situ masjid tumbuh sumbur," U Wirathu berujar.
"Mereka memonopoli bisnis," Wirathu menambahkan, "dan tidak membiarkan bisnis umat Buddha tumbuh."
Di Myanmar, kritisi terhadap biksu adalah hal yang tabu secara budaya dan agama.
Namun, sejumlah pengamat berpendapat posisi garis keras U Wirathu dan pengikutnya telah meracuni atmosfer Myanmar hingga ke titik di mana dua partai besar di negeri itu memilih untuk tak mencalonkan kandidat Muslim di pemilu parlemen mendatang.
"Mereka menjauhi kandidat Muslim," tutur U Aung Thein.
Biksu dan politik
U Wirathu mengaku tidak mendukung partai politik apapun pada pemilu nanti.
Meski begitu, dirinya meremehkan partai oposisi terbesar Myanmar, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.
Tentang serangan sejumlah pria berparang yang melukai kandidat NLD ketika tengah berkampanye di ibu kota Yangon pekan lalu, U Wirathu berpendapat, "Mereka tidak senang dengan posisi partai itu. Partai itu lemah," katanya lagi. "Mereka tidak bisa memberi yang diinginkan rakyat."
Kritikus menuding U Wirathu sebagai dalang kejadian itu.
Sebaliknya, biksu tersebut menyambut baik keputusan dari partai berkuasa dukungan militer bulan Juli lalu untuk menyetujui paket hukum pelarangan pernikahan antaragama.
Di bawah hukum itu, perempuan Buddha mesti mendapatkan izin dari pihak berwenang sebelum dapat menikahi lelaki beragama lain. Jika melanggar, tentu penjara jadi ganjarannya.
Hukum macam itu, di samping retorika anti-Muslim ala Wirathu, telah mengundang kritisisme internasional.
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon dalam pernyataannya pekan ini mengutarakan "perhatian mendalam terhadap pidato kebencian berkepanjangan, hasutan permusuhan, dan penyalahgunaan agama untuk tujuan politik yang dilakukan oleh elemen ekstrem di antara kaum mayoritas di Myanmar."
Ekspresi serupa diampaikan bulan September lalu dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Jepang, Norwegia, Perancis, Denmark, Kanada, dan Australia, tentang "prospek agama yang digunakan sebagai alat pemecah dan konflik" selama persiapan pemilu parlemen Myanmar 8 November nanti.
Minoritas yang diberantas
Para pemimpin komunitas Muslim di Meiktila mengeluhkan penolakan dari tuan tanah untuk mengizinkan Muslim kembali ke rumah yang mereka tinggalkan saat tragedi 2013.
Di beberapa tempat, rumah-rumah dengan ukiran ayat Al-Quran kosong tanpa penghuni. Jendela-jendelanya pecah.
Salah satu masjid yang masih beroperasi menjadi sangat penuh, sehingga jemaah terpaksa menunaikan salat Jumat secara bergantian. Gulungan kawat berduri kini menghiasi dinding masjid.
"Rasanya masih belum nyaman karena masih ada ketegangan di sini," sebut Chan Nyiein Kyi, seorang dokter gigi Muslim yang melayani pasien Muslim maupun Buddha di kliniknya. "Ada krisis yang terjadi antara kedua agama."
Sementara menurut seorang pebisnis Muslim, U Minn Aung, "Semua orang pergi." Ia memindahkan istri dan putrinya ke Yangon usai kerusuhan 2013.
U Minn Aung mengisahkan, dirinya sempat dirawat di rumah sakit akibat terluka parah dihajar massa kala kerusuhan. Hotelnya dirusak oleh sekelompok penjarah, dan kini ia tengah berjuang membiayai sewa rumah untuk keluarganya di ibukota melalui usaha toko kecil di Meiktila.
Kerusuhan memang telah usai, namun intimidasi terus berlanjut.
"Kami merasa pembersihan etnis tanpa darah sedang berlangsung," ujar pengacara U Aung Thein.
Menakuti generasi muda
Tak hanya pamflet dan khotbah, biara milik U Wirathu kini turut memamerkan poster seram untuk disaksikan oleh generasi muda.
Belum lama ini, sejumlah anak sekolah berusia 13 tahun berdiri memandangi foto-foto yang diduga serangan kelompok Muslim terhadap biksu.
Seorang siswa, On Joe Thee, mengungkap bahwa ia memiliki beberapa teman Muslim di kelasnya. "Mereka biasanya menutup diri," ujarnya.
Sambil memandang poster, ia berkata lagi, "Itu mengerikan. Muslim itu jahat."
CNN
JOIN