Oleh: Asnawi Ali, Mantan pengungsi Aceh di Swedia
SALAH satu kata bijak yang saya yakin ramai pembaca mengetahuinya bahwa ”sebuah gambar lebih bermakna daripada seribu kata”. Meskipun tidak bisa berbicara, namun sebuah gambar bisa menggerakan hati nurani rasa kemanusiaan. Hal itulah kini memicu trend baru di sosial media mengenai krisis ribuan pengungsi dari Suriah yang membanjiri daratan Eropa. Salah satunya berawal dari sebuah foto balita Alan Kurdi (3) ketika keluarganya yang berasal dari bangsa Kurdi di Suriah berusaha menyeberangi daratan Eropa namun kandas di Turki.
Menurut judul utama Hr Aftonbladet di Swedia, Sabtu lalu ”Pappan: Han skulle till Sverige, Ayah dari pada Alan berencana untuk berimigrasi ke Swedia melalui jalur laut Turki – Yunani dan seterusnya jalur darat ke destinasi akhir, Swedia. Takdir menentukan lain. Abang, dan Ibu Aylan salah satu dari sekian ramai pengungsi dari Suriah tenggelam di luat Mediterania pada Rabu dini hari (2/9). Berselang beberapa jam kemudian, tersiar foto bocah Alan yang tewas tergeletak dengan wajah bertelungkup mencium pasir tepat di pinggir pantai kota Bodrum, Turki.
Bagaikan 'penyebaran virus'. Foto beserta komentar di sosial media menjadi topik hangat dibincangkan di salah satu negara Skandinavia ini. Tidak luput dari Perdana Menteri Swedia Stefan Löfven memberikan komentar atas gambar halaman depan media utama diseluruh Eropa minggu lalu itu. Seperti dikutip Hr Expressen, Stefan menggugah komitmen warganya untuk mengambil tanggung jawab terhadap mereka korban peperangan dari negeri lain. Dalam sejarahnya, Swedia negara yang tidak pernah terlibat dalam menjajah dan dijajah, termasuk dalam perang dunia kedua.
Sehari kemudian, perdana Menteri Swedia itu terbang ke Berlin bertemu dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel membicangkan tentang tragedi kemanusiaan Tsunami pengungsi di seantero Eropa. Fakta membuktikan bahwa Jerman dan Swedia adalah dua negara di Uni Eropa yang mempunyai perjanjian untuk menerima pengungsi terbanyak dari Suriah sejak Februari lalu.
Dalam negeri Swedia sendiri, paska beredarnya foto bocah Alan di tepi pantai Turki, efek lainnya kini LSM kemanusiaan Palang Merah Internasional, Save The Children, Doctors Without Borders di Swedia dan badan PBB cabangnya di Stockholm seperti Unicef dan UNHCR menghiasi iklan di layar kaca. Tidak cukup itu, media cetak nasional dan lokal menyisipkan pariwara bagi pembaca Swedia untuk menyumbang melalui SMS dengan tajuk: ”Pengungsi Darurat” dengan jumlah variasi dari 50 hingga 500 kronor.
Dari alam maya hingga alam nyata mayoritas warga Swedia berkomentar dalam kategori sedih dan kritis atas tragedi kemanusiaan terbesar setelah perang dunia kedua ini. Sedih, karena peperangan di Timur Tengah tak pernah kunjung usai. Kritis, karena negara semenanjung Arab yang kaya raya akan limpahan minyaknya itu, bahkan negara-negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) seperti penonton, bahkan menutup pintu atas pengungsi yang notabene sama bangsa, bahasa dan agamanya.
Sedangkan Swedia beserta negara Skandinavia lainnya, meskipun negara sekuler yang cenderung Atheis, namun sudah puluhan tahun menerima pengungsi dari manusia yang ada di empat penjuru belahan dunia. Beruntung, Turki, Libanon, Yordania, Irak dan Mesir negara tetangga dari Suriah yang masih ada empati, bahkan Turki menjadi salah satu negara donatur pengungsi terbesar di dunia saat ini, termasuk membantu langsung pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh akhir Mei lalu.
Headline media elektronik dan cetak di Swedia dalam beberapa hari ini mengangkat tema seputar 'Tsunami Pengungsi' di Eropa. Opini yang sangat kontras di media sebelumnya yaitu pihak penguasa dan partai oposisi setiap hari berdebat melalui audio dan tulisan membahas efek sosial yang ditimbulkan paska membludaknya pengungsi ke Eropa, khususnya Swedia. Salah satu masalahnya adalah kekurangan akomodasi.
Pada waktu yang sama, sudah ribuan keluarga dan mahasiswa yang antri mencari rumah sewa penginapan, begitu pula ribuan orang menjadi pengangguran saat melambannya ekonomi Eropa, bahkan salah satu negara Uni Eropa seperti Yunani terancam bangkrut. Belum lagi masalah integrasi yang selalu jadi momok serius dalam urusan sebuah negara berkembang seperti Swedia yang banyak menilai seperti jalan ditempat.
Walaupun demikian, prioritas kemanusiaan tetap dinomor satukan. Apalagi musim dingin di Eropa mulai terlihat dengan tanda seiring bergugurnya daun pepohonan. Aksi kemanusian itu dibuktikan oleh Swedia yang Perdana Menterinya langsung ikut serta berorasi dihadapan ribuan peserta demonstrasi damai berupa manifestasi ”Välkomna Flyktingar Till Sverige” (Selamat Datang Pengungsi Ke Swedia) di Medborgarplatsen pusat kota Stockholm, Ahad petang (6/9).
Terakhir, spontan saya teringat dengan terjemahan potongan Al-Qur'an surat Al-Maidah Ayat 32 yang ditafsirkan oleh pendakwah senior perbandingan agama Dr Zakir Naik dalam kanal youtube bahwa ”Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, maka seolah-olah telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa menyelamatkan kehidupan seseorang--Muslim ataupun Non Muslim--maka seolah-olah dia telah menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia”.
Coretan Ringan: Örebro, Swedia
Senin, 7 September 2015
JOIN