
Nur Hasan bin Jakfar, satu dari ratusan manusia perahu asal Myanmar yang diselamatkan oleh nelayan Aceh ketika kapal mereka terombang ambing di laut lepas tanpa perbekalan memadai.
Sikap tenang dan raut wajahnya yang penuh senyum, pemuda berusia 24 tahun asal Myanmar ini, termasuk orang yang cukup dikenal di kalangan relawan kemanusiaan karena sikapnya yang santun serta statusnya sebagai seorang hafizh quran dan menjadi imam shalat lima waktu di kamp pengungsi kKuala Langsa, Aceh.
Di balik senyum ramahnya, Nur Hasan masih menyimpan duka apabila harus mengenang kampung halaman serta kedua orang tuanya. Ayah Nur Hasan syahid dipenggal oleh kaum buddha radikal saat sedang menunaikan shalat. Sedangkan ibunya masih ada di Rohingya namun nasibnya tidak diketahui.
Ketika ditanya apakah benar telah terjadi pembantaian umat Islam di Myanmar, dengan mata berkaca-kaca menjawab.
“Wallahi, Buddha qatala muslim kulli yaum. Muslim qolil, muslim laa quwwah.” (Demi Allah, kaum Buddha membunuhi Muslim setiap hari. Umat Muslim disana sedikit dan tidak punya kekuatan.)
“Umm maujud fi Rohingya, abun qatala shalah bissyaif ma’a Buddha (ibu saya masih ada di Rohingya sedangkan ayah mati dibunuh buddha dengan pedang ketika sedang shalat),” tuturnya ketika ditanya tentang kedua orang tuanya, sambil memperagakan gerakan ayunan pedang. Demikian laporan Islampos (03/06).
Nur Hasan bin Jakfar adalah salah seorang dari ratusan Muslimin yang mengungsi dari Rakhine, Myanmar ke Aceh. Ia diselamatkan oleh para nelayan Aceh ketika kapalnya terombang-ambing di laut Aceh.
Terlebih istimewa lagi, ternyata Nur Hasan bin Jakfar adalah seorang hafidz al-Qur’an dan lancar berbahasa Arab.
Pembantaian kepada Muslimin (genosida) oleh teroris Budha telah berlangsung sejak tahun 2012. Ratusan ribu Muslimin Rohingya harus melarikan diri, setelah ribuan Muslimin dibantai dengan keji oleh teroris Buddhis di bawah komando Biksu Wirathu.
Tak hanya itu, masjid-masjid dan rumah-rumah Musliminpun habis dibakar.
JOIN