Seorang bekas pilot pesawat tanpa awak (drone) didiagnosis menderita depresi. Pria bernama Brandon Bryant tersebut menyesal telah membunuh banyak orang. Ia dihadapkan pada beban moral, tidak ubahnya tentara di medan perang, Bryant mengalami gangguan mental dan memilih hengkang dari kesatuan.
Meski tak terjun langsung ke medan perang, sang operator mengaku dihantui horor ini: fakta bahwa ia membunuh banyak orang yang berada ribuan kilometer jauhnya, sementara ia duduk dengan aman di sebuah bunker komando milik AS.
Hal ini disampaikan oleh mantan pilot drone AS, Brandon Bryant, kepada CNN dalam acara Christiane Amanpour, akhir pekan lalu. Dia mengatakan, misi pertamanya terjadi pada bulan Januari. Bryant mencatat membunuh sebanyak 1.612 orang selama bertugas. Dia mengundurkan diri pada 2011 karena mengalami tekanan mental.
Brandon Bryant, yang berpangkat Airman First Class membuka mulut kepada GQ untuk meningkatkan kepedulian publik terhadap dampak drone. Ia mengisahkan sebuah insiden secara detail -- dimulai saat ia mengambil alih kontrol sistem senjata MQ-1B Predator drone yang berkeliling diam-diam di atas pedesaan Afghanistan.
“Ingatan (tentang drone) membuat perut saya mual,” ujar Bryant saat diwawancarai majalah GQ, seperti dikutip CNN, Kamis (24/10/2013).
Untuk pertama kali, dia menjatuhkan bom di sekumpulan orang, nun jauh di Afganistan. Dia mengaku telah menjalankan tujuh misi. Pria berumur 27 tahun mengisahkan, Dia melihat korbannya tewas secara mengenaskan melalui monitor.
"Kaki kanannya hancur," kata Bryant, mengisahkan korban rudal udara-ke-darat, Hellfire, yang ditembakkannya.
"Saya melihat darah keluar dari arteri femoralnya. Saya terkejut. Memang tidak jelas, dan tidak seperti asli. Tapi ini nyata," ujarnya.
“Saya melihat korban saya setelah asap rudal menghilang. Tubuh dua korban tercerai-berai, sementara seorang lainnya masih hidup namun kehilangan kakinya. Dia terlihat bingung dengan darah terus keluar dari kakinya. Saya melihatnya tewas secara perlahan,” tuturnya.
Bryant diketahui bekerja sebagai pilot drone selama lima tahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti. Dia tidak sanggup menahan derita moral yang dialaminya, setiap kali melihat korban jatuh. Saat ini dia tengah menjalani perawatan gangguan stress pasca-trauma.
"Ada tingkat keintiman dalam setiap aksi di peperangan. Semua ini soal psikologi. Kau dengarkan suara derum komputer. Kau tidak merasakan rudal datang: tapi kau menyaksikannya," kata dia.
Dia mengaku, bekerja di belakang layar tidak ubahnya turun ke medan perang.
"Kau masih ada di medan perang, apakah kau secara fisik ada di sana atau tidak. Amerika ingin perang yang bersih. Tapi kenyataannya, tidak ada perang yang bersih," ujarnya lagi.
Serangan drone AS dikritik banyak pihak. Mereka menyebut serangan drone membunuh banyak warga tidak bersalah.
Amnesty International mengatakan aksi tersebut sebagai 'kejahatan perang'. Pakistan, Yaman, dan Afghanistan sudah merasakan dampak drone yang dikirimkan AS.
Namun, Pemerintah AS menganggap serangan drone diperlukan. Mereka tidak mau lagi mengirim pasukan ke wilayah konflik yang membutuhkan banyak biaya dan membahayakan nyawa tentara.
JOIN