Saking brutalnya, korupsi pun tak mengenal usia, strata dan kedudukan. Mulai dari kalangan sekuler sampai kalangan yang akrab dengan dunia keagamaan. Semuanya dengan brutal melakukan praktik korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berkali-kali menangkap koruptor dan mengungkap mata rantai korupsi, tapi nyatanya tak ada kata jera.
Meski berbagai kasus telah dibongkar dan pelakunya dibui, tetap saja kasus-kasus anyar ditemukan. Korupsi sudah berlangsung sistemik dan menggurita di semua lembaga, dari pusat hingga daerah. Korupsi seperti tak pernah mati di negeri ini. Ya, terus saja hidup. Aneh, mengapa ini terjadi?
Semua koruptor itu dapat dipastikan, mereka bukanlah para ateis (orang yang tidak beragama). Mereka punya agama. Dan kita tahu, tidak ada satupun agama yang memberi imbalan pahala kepada pemeluknya yang melakukan korupsi. Semua melarang, bahkan melaknat sang pelaku. Namun nampaknya imbauan agama soal yang satu ini akan punah dengan sendirinya karena ulah pemeluknya. Semoga ini tidak terjadi.
Jika terjadi maka rusaklah negeri ini dan yakinlah bahwa azab Allah SWT. segera datang bertubi-tubi. Mengapa? Karena, korupsi adalah penampakan dari sifat tamak alias serakah. Dalam Islam, serakah dipahami sebagai sikap tidak puas dengan apa yang menjadi hak atau miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya.
Muhammad Rasulullah SAW. pernah mengilurtrasikan betapa keserakahan akan mendominasi tingkah laku manusia. "Jika seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, pasti ia akan berusaha lagi untuk memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah memiliki dua lembah, ia akan berusaha lagi untuk memiliki tiga lembah. Memang tidak ada sesuatu yang dapat memenuhi keinginan anak Adam kecuali tanah (tempat kubur, yakni mati). Dan Allah akan menerima tobat mereka yang bertobat." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
Berdasarkan hadis di atas, kita menyadari, potensi serakah atau korupsi itu ada dalam diri setiap anak adam (manusia). Karena itu kita harus pandai-pandai mengontrolnya. Nah, bulan puasa ini adalah momentum yang tepat untuk belajar mengontrol nafsu korupsi. Puasa dalam ajaran Islam seringkali dijadikan alat kontrol nafsu yang merajalela menggoda manusia dan menjerumuskannya ke dalam kubangan dosa.
Mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya adalah tindakan korupsi. Ini jelas tidak diperbolehkan oleh agama. Ini bukan hal baru, semua orang juga sudah tahu. Ironisnya, banyak orang bahkan berlomba-lomba untuk jadi koruptor (meskipun skala kecil).
Di bulan yang pernuh dengan limpahan rahmat dan ampunan Allah ini, sesuai dengan makna puasa yaitu menahan (imsak), kita sebaiknya mampu menahan keinginan untuk korupsi. Jika peluang untuk melakukan korupsi itu ada di depan mata, sekali lagi, cukup ditahan saja, dan katakan dalam hati, "Inni shoim," saya sedang berpuasa.
Mengapa harus dengan puasa? Ya, karena esensi puasa adalah tidak hanya menahan makan dan minum, tapi juga menahan segala hawa nafsu untuk tidak melakukan perbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya setan itu berjalan pada anak Adam (manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalannya itu dengan lapar (berpuasa)." (HR Bukhari-Muslim).
Korupsi adalah jelas perbuatan dosa. Bahkan, disamakan dengan tindakan pembunuhan brutal. Allah SWT dengan tegas menyatakan, "Siapa saja yang membunuh satu jiwa, bukan karena membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan dia telah membunuh semua manusia." (QS Al-Maidah: 32). Duh, alangkah brutalnya.
Ayat ini juga relevan untuk mengutuk keras praktik korupsi dan mendorong hukuman seberat-beratnya bagi para koruptor. Bukankah dengan korupsi, seseorang telah merampas kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan memperkuat program pemberantasan kemiskinan, yang melanda sebagian besar bangsa ini?
Jadi, koruptor telah membunuh dengan menghilangkan kesempatan mayoritas anak bangsa untuk hidup lebih sejahtera dan masa depan yang lebih cerah. Di bulan Ramdan ini saatnya menahan nafsu untuk tidak korupsi. Begitu hari raya tiba, saatnya merayakan kemenangan bebas dari belenggu nafsu korupsi.
Oleh HM Cholil Nafis Lc PhD,
(Tribunnews Online, 16 Agustuf 2012)
JOIN