“... Akhirnya, hanya kata “Aceh” saja yang dipertahankan, tanpa menyebut lagi kata “Nanggroe” dan “Darussalam”. Jika saja mereka paham kedua kata tersebut tidak akan diabaikan begitu saja untuk “mengawal” kata “Aceh” di sebelah kiri dan di kanan. Dan akhirnya mereka hanya mengkultuskan sepenggal kata yang berukir Aceh, sembari mencampakkan “Nanggroe” dan “Darussalam”.
SEJAK dikeluarkannya Peraturan Gubernur Aceh No. 46 Tahun 2009 Tentang Penyebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, maka secara resmi sebutan nama pemerintahan provinsi yang berada di ujung Barat Pulau Sumatera ini bukan lagi “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” atau sering disingkat dengan NAD, melainkan “Provinsi Aceh”.
Sementara sebutan NAD didasarkan pada Keputusan Gubernur Provinsi NAD No. 49 Tahun 2001, sekarang telah dimensohkan. Akan tetapi di luar keputusan resmi itu, ternyata masih orang masih sering menyebut NAD untuk Provinsi Aceh ini.
Saya pribadi masih sangat awam mengenai perihal ini, atas dasar atau pertimbangan apa kira-kira perubahan sebutan itu dilakukan oleh rezim pemerintahan sekarang. Adapun yang makruf diketahui adalah dikarenakan landasan yuridis yang merujuk pada Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 dan kemudian diteruskan dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemeritahan Aceh (UU-PA). Dimana kedua nomenklatur di atas menyebut nama provinsi paling Barat di NKRI ini dengan term Aceh Government (Pemerintah Aceh), bukan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejak dan berdasarkan pijakan yuridis itulah wilayah Aceh disebut “Provinsi Aceh” dan pemerintahannya dinamakan “Pemerintah Aceh”.
Pemeran Tunggal
Kini Aceh tanpa “Darussalam” bahkan juga tanpa “Nanggroe” lagi. Artinya, kata “Darussalam” kini telah terbuang dari sisi kata “Aceh”, sebagaimana juga kata “Nanggroe”. Keduanya telah terbuang dan tercampakkan begitu saja dan “Aceh” tinggal seorang diri. Ia berdiri sendiri sebagai sebuah kata yang sombong, angkuh dan ego. Seakan kesombongan, keangkuhan dan keegoan kata “Aceh” yang menyendiri itu terefleksikan dengan sempurna dalam perilaku para punggawa mantan para pejuang yang kini telah memiliki akses secara Politik bahkan Ekonomi di Aceh. Perilaku pemeran tunggal nampak di mana-mana, di berbagai sektor denyut kehidupan masyarakat Aceh.
Terlepas dari fundamen politik yang kemudian mewarnai era damai di Aceh, mungkin saja kehadiran dua penggal kata; “nanggroe” (bahasa Aceh) dan “darussalam” (bahasa Arab) dalam nama provinsi Aceh kala itu ada kemungkinan menimbulkan suatu masalah teknis terutama dalam pengucapan dan penulisan. Mungkin saja, dalam pengucapan dirasakan oleh para pihak yang terlibat dalam juru runding, terutama Marty Attisari dan kawan-kawan, sesuatu yang agak sulit. Boleh jadi, sulit bagi lidah mereka kala memverbalkan lafal yang berasal dari aksara Aceh dan Arab ini. Sehingga kedua penggal kata itu dianggap kurang relevan atau paling tidak sedikit mengganggu. Demikian juga dalam hal penulisan, bisa saja dalihnya karena terlalu panjang sehingga menjadi tidak simpel.
Akhirnya, cuma kata “Aceh” saja yang dipertahankan, tanpa menyebut lagi kata “Nanggroe” dan “Darussalam”. Padahal, kalau saja mereka paham bahasa Aceh dan Arab, kedua kata tersebut tidak bakal diabaikan begitu saja untuk “mengawal” kata “Aceh” di kanan dan di sebelah kiri. Bukankah susunan “Nanggroe Aceh Darussalam” merupakan satu tatanan kata yang cukup apik? Di mana kata “Aceh” diapit oleh dua kata lain yang bersebelahan. Amat disayangkan, kedua kata yang mendampingi itu kini telah terbuang. Bila saja kala itu mereka mengerti dan memahami gramatika kalimat semacam ini, tentu pembuangan itu tidak akan terjadi.
Bukan perubahan biasa
Sekilas perubahan sebutan ini kesannya biasa saja seperti tanpa efek apapun yang menyertai. Padahal di balik ketiadaan kata “Darussalam” khususnya, dirasakan ikut membawa implikasi yang sangat berarti bagi penduduk Aceh sekarang ini.
Saya melihat, “Darussalam” bukan saja sepenggal kata tanpa makna. Bagi kita orang Aceh yang mayoritas muslim sedikit banyaknya paham bahwa kata “Darussalam” mengandung harapan dan doa. Dar al-salam (Arab) atau Jerussalem atau Darussalam berarti negeri yang aman dan damai. Jadi “Nanggroe Aceh Darussalam” dapat dimaknai; Aceh negeri yang aman dan damai atau negeri Aceh yang aman dan damai. Saya pikir, benih-benih konflik horizontal yang mulai tumbuh kembali di tengah masyarakat dan elit di Aceh akhir-akhir ini, menurut kacamata keagamaan, disebabkan Aceh dan masyarakatnya telah kehilangan ruh doa yang ada sebelumnya.
Padahal harapan, niat, dan doa bagi masyarakat Aceh yang notabene muslim merupakan spirit dasar yang menjadi penopang awal setiap karya nyata yang akan dilakukan. Awalnya, ruh itu telah hilang pada nama daerah dan pemerintahan. Seiring dengan itu juga, kini ruh itu juga ikut mempengaruhi watak, mental dan karakter orang Aceh yang semakin jauh dari sikap dan perilaku yang menumbuhkan benih ketentraman, keadilan dan kesejahteraan.
Aset-aset yang membantu masyarakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan telah dimonopoli oleh segelintir dan sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat. Segolongan atau separtai orang yang hanya mengkultuskan sepenggal kata yang berukirkan “Aceh”, sembari mencampakkan “Nanggroe” dan “Darussalam”.
De-spiritualisasi dalam artian upaya untuk menisbikan keterwakilan anasir keagamaan (keislaman) telah lama nampak dan kini semakin jelas kelihatannya sedang dilakoni di Aceh. Mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana seperti nama atau sebutan, simbol atau identitas keacehan dan keislaman (struktur) sampai pada nilai dan substansi (kultur) kemusliman orang Aceh secara perlahan-lahan diminimalkan pada skop dan level tertentu dalam kehidupan pemerintahan dan sosial budaya masyarakat Aceh.
Kehilangan jati diri keacehan secara perlahan ini tidak bisa dialamatkan kesalahannya pada orang asing yang telah melakukan akselerasi perdamaian di Aceh. Tetapi kekhilafan itu harus kita alamatkan kepada kita sendiri yang boleh jadi lalai dalam menjaganya. Makna dan ruh “Darussalam” dalam diri dan kondisi daerah tidak lagi mencuat ke permukaan. Sebaliknya, kita sedang mengarahkan kehidupan ini kembali ke dar al-harb, kembali kepada keadaan konflik dan bahkan ke kancah perang antar saudara sesama masyarakat Aceh.
Mencari “Darussalam”
Bila rakyat Palestina sedang giat-giatnya berjuang untuk dapat hidup dalam damai di sebuah negeri yang merdeka dengan kota Jerussalem sebagai simbolnya, sebaliknya masyarakat Aceh hengkang dari keadaan aman dan damai dan kembali menanam benih konflik politik dalam pilkada, konflik ekonomi dengan sistem monopoli, konflik sosial melalui perilaku individualis, konflik budaya dengan memperagakan sikap konsumeris, hedonis, dan konflik keagamaan dengan munculnya aliran-aliran sempalan.
Sehingga lengkap sudah pilar-pilar keterpurukan yang kita tancapkan sendiri di tanah endatu ini, dan generasi mendatang bakal menuai hasilnya. Lalu di mana lagi hendak mencari “Darussalam”? Bila pada nama daerah dan pemerintah sudah tak ada, pada sikap dan perilaku orang-orang juga tak ada. Jika pemerintah dan masyarakat Aceh sudah tak mau menyebut dan menghidupkan suasana “Darussalam”, maka paling tidak mungkin kita akan terus saja mendengar sebutan “Darussalam” itu dari ucapan awak pesawat udara yang terbang Banda Aceh, atau ketika kita membaca surat kabar nasional yang menulis tentang geliat keadaan daerah ini.
***
Oleh Muhibuddin Hanafiah, Serambinews.com
|