TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Aceh “Otonomi Khusus” Ganja, Mungkinkah?

Sunday, September 25, 2011 21:07 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
Ladang Ganja Di Aceh

Pemerintah Thailand akan bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional dan provinsi (BNN dan BNP) Aceh. Ditawarkan konsep ekonomi alternatif pengganti ganja.

Menyebut ganja, mayoritas orang pasti terjebak pada ancaman hukuman atau keuntungan yang didapat. Terakhir, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh menggagas ekonomi alternatif, penganti tanaman ganja di Aceh.

Caranya, tentu saja tak bisa sendiri. Tapi, menggandeng mitra. Salah satu yang diajak adalah Pemerintah Thailand. Negeri Gajah Putih itu memang memiliki persoalan serupa yaitu narkotika. “Kerja sama dalam pemberantasan narkoba ini bukan penangkapan pelakunya tetapi menawarkan ekonomi alternatif bagi rakyat yang selama ini menanam ganja,” kata Gubernur Aceh Irwandi Yusuf beberapa waktu lalu di Banda Aceh.

Rencana itu dicetuskan dalam pertemuan dengan Sekretaris General Yayasan Mae Fah Luang, MR Disnadda Dsikul dan rombongan dari yayasan yang langsung berada di bawah kerajaan yang dipimpin Raja Bhumibol Adulyadej. Menurut Irwandi, dalam pertemuan di kediaman resminya itu belum dibicarakan lebih lanjut mengenai tanaman alternatif pengganti ganja tetapi kemungkinan akan diganti dengan tanaman yang bergengsi dan produksinya bernilai jual tinggi.

Sejumlah daerah di Aceh terutama di kawasan pegunungan dijadikan ladang ganja yang ditanami warga sekitar sebagai lahan pencari nafkah, ganja dari Aceh pun terkenal berkualitas tinggi.

Terkait dengan wacana pelegalan ganja oleh pemerintah, menurut Irwandi pelegalan ganja itu dalam artian tidak semua orang bisa menanam ganja, tetapi tetap harus dikontrol oleh pemerintah khususnya untuk keperluan medis. “Pelegalan ganja akan lebih baik, kalau Aceh bisa impor ganja untuk keperluan medis berapa banyak penghasilan yang akan diperoleh,” ujarnya.

Rombongan dari Thailand berada di Aceh selama empat hari untuk menjajaki kemungkinan kerjasama bidang agrikultural, perikanan, kesehatan, pariwisata termasuk kesehatan dan pemberantasan narkotika.

Sejalan dengan itu Badan Narkotika Nasional (BNN), juga mencari alternatif pengganti tanaman ganja di Provinsi Aceh sebagai upaya pemusnahan tanaman yang mengandung narkotika (ganja). “Sebagai upaya pencegahan dan pemusnahan tanaman gelap yang mengandung narkotika (ganja), maka diperlukan konsep pembangunan yang bersifat konprehensif,” kata Kabag Humas Set Lakhar BNN, Sri Sulastri, di Banda Aceh, Kamis, 2 Agustus lalu.

Pendapat itu disampaikan Sri Sulastri dalam seminar sehari bertajuk “Rencana pembangunan Aceh 2020 melalui program pembangunan alternatif” yang diikuti beberapa elemen masyarakat di daerah ini. Kata Sri, melalui kegiatan ini diharapkan ada langkah dalam upaya mencegah dan memusnahkan penanaman gelap ganja yang didesain khusus dalam kontek pembangunan berkelanjutan. “Pembangunan alternatif (alternative development-AD) merupakan pembangunan komunitas dengan visi merujudkan Provinsi Aceh yang bebas dari penanaman gelap ganja pada 2020,” tambahnya.


Menurut dia, program AD telah berkembang di berbagai negara yang terus berjuang menata diri dengan meninggalkan tradisi dan pola tanam narkotika seperti kokain, opium dan canabis (ganja) yang selanjutnya menuju masyarakat sejahtera dan maju dalam berinovasi serta bertradisi terhadap berbagai perubahan. “Sebagai contoh masyarakat di Thailand, mereka awalnya sebagai petani penghasil opium, kemudian melalui proyek AD (Doi Tung Project) tersebut maka menjadi petani penghasil produk-produk unggulan berkualitas ekspor dan banyak diminati pasar manca negara,” ujar dia.

Karena itu, Sri Sulastri menjelaskan obsesi mensukseskan rencana pembangunan Aceh 2020 melalui program AD itu memiliki nilai strategis dan sinergis. Strategis karena rencana dan optimisme yang mendasari semangat pencapaian tujuan sehingga menjadi motivator dan dinamisator pemerintah serta masyarakat Aceh. Sedangkan sinergis dikarenakan program AD itu telah mendapat dukungan penuh berbagai forum, baik internasional, regional mampun nasional sebagai upaya pencapaian tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, tambah dia.

Dalam seminar yang dihadari sekitar 200 peserta itu ikut dihadirkan pemakalah dari utusan Thailand, Suchada Thaibunthao (Direktur TICA), Dr Darni M Daud (Rektor Unsyiah), Prof Dr Muslim Ibrahim (Majelis Pemusyawaratan Ulama/MPU) dan Ahwil Lutan (BNN). Berbeda dengan Belanda. Di negeri kincir angin ini, ganja (canabis) dapat dijadikan bahan dasar pembuatan celana jean. Keberhasilan ini berkat peneliti dari Universitas Wageningen Belanda. Mereka  mengembangkan variasi tanaman canabis (ganja)  yang disebut hennep sebagai pengganti katun.

Bermula dari tanaman hennep yang tidak terurus di sebuah ladang kecil sepuluh kilometer sebelah Timur Kota Wageningen. Semuanya ambruk dan mulai membusuk. Namun demikian, para peneliti dari Universitas Wageningen dan Research Center gembira karena jenis tanaman itu bisa dipakai menggantikan katun sebagai tanaman tekstil. Pembusukan tanaman adalah bagian dari proses produksi. Di kantor Dr. Ton de Nijs, peneliti tanaman pada WUR, tersedia contoh celana jeans. Dari luar tidak ada yang terlihat istimewa. Celana jeans itu terbuat dari bahan yang kuat tapi lentur. Enak dipakai.

Rahasia celena jeans ini adalah bahannya sebagian besar berasal dari tanaman canabis. Tapi, bukan jenis yang biasa dipakai untuk ganja. Tanaman ini tidak mengandung THC, bahan kimia yang bisa bikin mabuk.

Menurut para peneliti Wageningen tanaman canabis jenis ini bisa bermanfaat mengingat berbagai segi negatif tanaman katun. Dr. Nijs menjelaskan  “Katun butuh banyak sekali air. Selain itu, perkebunan katun memakai banyak sekali pestisida. Tanaman canabis ini lain. Tidak butuh banyak air dan tidak perlu pakai obat anti hama”. Menurut Dr. de Nijs, katun butuh air 25 kali lebih banyak dari tanaman canabis.

Produksi katun dikuasai oleh perusahaan multinasional raksasa. Para petani dibayar rendah untuk panenan katun mentah mereka. Selanjutnya para pengusaha itu mengirim hasil panen ke tempat lain untuk diolah.

Dr. de Nijs menggambarkan situasi tersebut: “Katun itu perlu diolah untuk jadi kain. Proses itu sebagian besar dilakukan di Belanda. Katun dari Ghana, misalnya, dibawa ke Belanda. Lalu, dibikin kain bermotif Ghana dan diekspor balik ke Ghana”. Para peneliti Wageningen saat ini telah mengembangkan beberapa variasi tanaman canabis yang kualitas seratnya sebanding dengan katun. Sekarang tinggal bagaimana menemukan sebuah mesin sederhana dan murah yang bisa mengolah tanaman itu menjadi bahan tekstil. Saat ini mesin itu tengah dirancang.

Dengan mesin itu, para petani dunia ketiga yang ingin pindah dari katun ke tanaman kanabis, bisa memproduksi kain sendiri. Jadi, mereka bisa mandiri, dari menanam sampai membuat produk tekstil. Dengan cara itu penghasilan mereka akan bertambah.

Menurut Dr. de Nijs, dengan mandirinya para petani, kecil kemungkinan perusahaan multinasional akan juga menguasai produksi tanaman canabis. Diharapkan dalam lima tahun ke depan celana jeans yang terbuat dari tanaman canabis bisa dipasarkan.


Hanya itukah? Tentu saja tidak. Melirik besarnya potensi ganja di Aceh, pemerintah pusat (Jakarta) maupun Aceh, sudah saatnya berpikir lebih serius terhadap masalah ini. Terutama mencari tanaman alternatif, bernilai ekonomis tinggi. Sejurus dengan itu, bukan mustahil jika di Aceh didirikan pabrik dasar obat-obatan setingkat badan usaha milik negara. Misalnya Kimia Farma. Ini dimaksudkan, agar tanaman ganja di Aceh dapat lebih dioptimalkan untuk kepentingan positif, disamping menambah devisa negara dan pendapatan asli daerah.

Untuk mewujudkan hal ini tentu saja tidak mudah. Sebab, selain berbenturan dengan hukum yang ada, juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Yang terjadi justeru saling kucing-kucingan antara pelaku dan polisi. Namun, hal itu menjadi lebih ringan jika ada pengawasan ketat dari pemerintah. Salah satunya, dengan memberikan “Otonomi Khusus” penanaman dan pengolahan ganja di Aceh. Mungkinkah? Misalnya, pemerintah pusat dan Aceh, membuka satu kawasan penanaman ganja, disusul hadirnya beberapa perusahaan obat-obatan dasar. Bisa saja dengan mengandeng investor serupa dari Amerika, Eropa dan Asia.

Setiap perkebunan, diawasi secara ketat, termasuk distribusinya. Para petani di sekitar perkebunan atau pabrik, ikut dilibatkan sebagai pekerja atau dibagikan lahan dengan jumlah tanaman yang terbatas. Cara yang dipakai bisa saja dengan mengadopsi sistem plasma seperti pola perkebunan kelapa sawit.

Pengelolaan ganja secara terbuka, tentu saja akan semakin membuat masyarakat sadar dan tertutup ruang geraknya. Kecuali itu, harga jual pun menjadi lebih murah. Bisa setara harga cabai atau bawang merah per kilonya. Di sinilah prinsip, apabila permintaan berkurang, harga akan jatuh bermain.

Berbeda dengan saat ini, pendekatan pemberantasan narkoba masih dilakukan dengan pendekatan hukum semata. Terutama oleh polisi. Tangkap, hukum lalu musnahkan barang bukti. Sementara sektor potensi ekonomi dan teknologi masih belum terjamah. Akibatnya, ganja cenderung digunakan secara negatif dan ilegal. Sebab, susah didapat dan berharga sangat mahal.

Menggagas tanaman alternatif seperti cabai dan jagung atau palawija sejenis tidaklah salah. Hanya saja, nilai jual (ekonomis) jauh lebih rendah dibandingkan ganja. Sulit rasanya menganti tanaman ganja yang bernilai tinggi atau sekitar Rp 350 ribu per kilonya di Aceh dan bisa mencapai Rp 3,5 juta per kilo di Jawa dengan cabai, bawang atau jagung yang berpatok pada kisaran harga puluhan ribu perkilonya.

Nah, semua itu berpulang pada pemimpin negeri ini. Mulai dari Presiden hingga jajaran di bawahnya. Termasuk para wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Memberantas ganja tanpa konsep yang jelas serta pemberdayaan ekonomi yang pasti dan bernilai tinggi, sama saja dengan membuka peluang kepada para bandar dan mafia narkotika untuk mandi uang secara haram dan ilegal.

***
Shaleh L.Seumawe, modusaceh.com




KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved