:: Gunongan :: |
.... Setiap tokoh pemimpin Aceh yang arif-bijak-sana pasti menyimpan sejumlah haba jameun (k-a-bar p-urba) di dompetnya. Pada kesempatan tertentu haba itu akan diceritakannya kepada para pende-ngarnya yang penuh hormat....
Snouck Hurgronje melukiskan betapa tradisi bertutur telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Dalam buku Aceh di Mata Kolonialis, antropolog Belanda itu me-nulis, haba jameun merupakan cerita zaman silam yang disampaikan secara lisan dalam bentuk dendang bersyair.
Syair-syair itu dituturkan ketika malam menje-lang. Isi ceritanya membakar semangat para pendengar-nya untuk berangkat ke medan perang esok paginya: m-enyerang penjajah Belanda di markasnya di se-jumlah kota, seperti Kutaraja, Pidie, atau Singkel.
Haba Jameun merupakan satu di antara ratusan ke-kayaan sastra Aceh lama. Aceh masa lalu menjulang dengan segudang karya sastra yang begitu beragam, tapi mengalami kemunduran saat terjadi pelarangan buku ajaran Ar-Raniri serta Hamzah Fansuri oleh penjajah. Mereka menganggap buku dan ajaran itu sarat muatan filsafat dan agama yang berbahaya.
Toh, rakyat Aceh tak menyerah. Penjajah boleh melarang buku dan ajaran kedua sastrawan besar Me-layu itu, tapi rakyat tetap meneruskan tradisi sastranya dalam bentuk lisan. Dua karya sastra yang kemudian disampaikan secara lisan adalah haba (k-abar) dan hikayat. Dan hikayatlah yang kemudian pa-ling populer di Aceh.
Hikayat merupakan cerita-cerita dongeng bersyair berbentuk prosa. Biasanya dituturkan sebagai pe-li-pur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar un-tuk meramaikan pesta. Lewat hikayat itu pulalah rak-yat Aceh menerima ajaran "Martabat Tujuh". Ajar-an itu mengilhami hikayat paling terkenal di era ko-lo-nialisme Belanda, Hikayat Perang Sabi (Perang Sa-bil). Hikayat karangan Teungku Haji Muhammad Pan-tee Kulu alias Cik Pantee Kulu pada 1881 itu ber-i-si- syair-syair pembangkit perang melawan penjajah Be-landa.
Tapi hikayat-hikayat lama Aceh tak melulu syair pembangkit melawan penjajah. Sekitar seabad silam, Hurgronje menemukan ratusan hikayat dalam bentuk puisi, prosa, dan roman. Hikayat itu tumbuh dan melekat dalam masyarakat. Selain epik kepahlawan-an, ajaran agama, dan kisah para nabi, Hurgronje juga menemukan pelbagai hikayat tentang binatang.
Dari ratusan hikayat itu, Hurgronje mencatat ada sekitar 98 yang begitu terkenal di Aceh. Antara lain, Hikayat Malem Diwa, Hikayat Dang Deuria, Hikayat Indra Bangsawan, dan Hikayat Geumba Meuh. Bahkan dua hikayat yang disebut pertama telah menjadi legenda masyarakat Aceh.
Hikayat Malem Diwa berkisah tentang Panger-an Malem Diwa, yang menyembunyikan baju terbang Putri Bungsu, satu di antara tujuh putri dari kahyang-an. Saat hendak terbang ke langit, Putri Bungsu tak bisa pergi karena baju terbangnya raib. Dalam kisah selanjutnya, Putri Bungsu akhirnya kawin dengan Malem Diwa dan dikaruniai satu anak laki-laki, Banta Amat.
Tapi sang Putri kemudian menemukan kembali baju- terbangnya. Ia pun kembali ke Negeri Antara di kahyangan. "Setelah tiga kali panen, engkau harus datang menjemputku. Kalau tidak, aku akan kawin de-ngan orang lain," kata Putri Bungsu sebelum ter-bang-. Malem Diwa meradang. Dengan berbagai cara, ia- mencari jalan agar bisa menyusul sang istri ke kahya-ngan.
Saking melegendanya, Hikayat Malem Diwa begitu merasuk di masyarakat Aceh. Seorang penggiat se-ni Aceh, Syech Idris A.R., menuturkan pengalam-an-nya. Katanya, ia begitu tersihir ketika pertama kali mendengar hikayat itu pada 1968. Saat itu, ia menonton pertunjukan Teungku Adnan PMTOH di lapang-an Trienggadeng, Pidie. "Begitu tersihirnya, sampai-sampai saya bisa menghafalnya," kata Idris.
Hikayat itu pula yang kemudian memacunya mengikuti jejak Adnan PMTOH. Pria kelahiran P-idie 53 tahun lalu itu sempat menjadi penutur hikayat se-panjang 1968-1970. Bahkan hingga sekarang Idris masih begitu fasih menuturkan hikayat yang sudah puluhan tahun tak pernah dibacakannya itu. Saat ditemui Tempo pekan lalu di sebuah sanggar seni Aceh di Pasar Minggu, Jakarta, ia menuturkan hikayat itu dengan gaya dendang bersyair.
Hikayat lain yang juga masyhur adalah Indra B-angsawan. Boleh dibilang, hikayat itu merupakan reproduksi utuh dari kisah dalam bahasa Melayu de-ngan judul sama. Menurut catatan, tiga salinan ki-sah Melayu itu dikoleksi Van de Wall di Batavia. Satu la-gi tersimpan di Berlin, Jerman, koleksi Schuman.
Indra Bangsawan berkisah tentang seorang raja yang memiliki putra kembar: Syahpari dan Indra Bangsawan. Sang raja bingung ketika memilih untuk dijadikan putra mahkota. Syahdan, raja bermimpi tentang alat musik sakti, buloh meurindu. Akhir-nya ia memutuskan, siapa di antara kedua anaknya yang berhasil menemukan alat musik tiup itu berhak menggantikannya di takhta kerajaan.
Satu lagi hikayat yang juga sangat terkenal di Aceh, Dang Deuria. Awalnya hikayat itu tumbuh di daerah Aceh Selatan. Masyarakat setempat me-nye-but para penutur hikayat ini dengan tukang leugah haba. Awalnya, hikayat itu diceritakan kepada dua-tiga orang saja. Biasanya sembari duduk santai atau sambil mengirik padi di dangau. Isinya berupa nasihat hidup sehari-hari dan pelipur lara.
Dang Deuria berkisah tentang dua kerajaan di wi-la-yah Aceh Selatan. Masing-masing diperintah Linto Baja dan Lahuda. Semula kedua kerajaan itu sangat jaya dan makmur. Hingga suatu masa, kerajaannya Linto Baja mengalami kekurangan pangan dan rak-yat-nya kelaparan. Sang rajanya pun jatuh sakit.
Sang permaisuri kerajaan yang menderita itu, Sitti Bangsa, memohon bantuan ke Raja Lahuda. De-ngan akal bulus, Lahuda mengajukan syarat. Katanya, ia- mau membantu asal Sitti Bangsa menyingkirkan s-uaminya. Niat jahat itu tercium putra Lanto Baja, Dang Deuria. Singkat cerita, Dang Deuria pun menumpas Raja Lahuda-sekaligus pamannya itu.
Dalam perjalanan, hikayat itu juga menginspi-rasi masyarakat Aceh Selatan membentuk teater tra-disi, Haba Dang Deuria. Teater ini hanya dimainkan satu orang yang dibantu dengan sejumlah properti pementasan. Pentas pertama teater itu digelar sekitar 1800. Aktornya Tok Tek bergelar Tok Dang, kemu-diaan dilanjutkan Mat Lape dan Teungku Adnan PMTOH.
Seorang penutur hikayat, Muda Balia, 26 tahun, menyatakan bahwa Dang Deuria begitu terkenal di Aceh karena kisahnya lengkap. Cerita hikayat itu sa-ngat dramatik, penuh humor, sarat ajaran agama dan nasihat hidup. Dan ceritanya sangat dekat de-ngan kehidupan masyarakat Tanah Rencong. "Setiap pentas, para penonton kerap meminta dituturkan Dang Deuria," katanya.
***
|
JOIN