Pada masa perang lalu, sebagian kecil orang tertarik dengan perdebatan bagaimana menuliskan kata Aceh. Ada yang menuliskannya dengan Acheh, Atjeh dan Aceh. Pertengkaran bisa menghebat karena cara penulisan diklaim menentukan kadar keAcehannya.
Mungkin juga hal itu tidaklah sepelik yang dimaknakan oleh yang mereka pertengkarkan. Mungkin Aceh mewakili penulisan ejaan baru; Atjeh mewakili penulisan ejaan lama, dan Acheh bukan mewakili ejaan Melayu. Sebetulnya kepelikan – akibat sok paling politis dan keacehan itu— semakin berkurang manakala kita telusuri pada sejumlah artikel tentang sejarah Aceh.
Dennys Lombard memberikan catatan khusus tentang penyebutan beberapa nama tempat di Aceh. Dalam bukunya: Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), bahkan ia meletakkan bagian aneka penulisan kata Aceh di bagian awal bukunya itu.
Sebelumnya, apa yang kita kenal sekarang sebagai Perlak (840-1292), oleh Marco Polo ditulis Ferlec. Ada juga yang menuliskannya Barlak, Perla—yang dalam dialek Aceh disebut: Peureulak. Demikian pula Idi yang dahulu juga sudah dikenal, maka ditulis oleh Karl May sebagai Edi.
Lalu bagaimana dengan Benua Tamiang (960-1558), yang disebut dengan dialek Aceh sebagai Tamieng. Ini kerajaan tertua ketiga, setelah Perlak dan Samudra Pasai. Dan, bila Tamiang diserang Majapahit pada 1352, maka Pasai diserang pada 1360, atau menurut catatan Marre sekitar akhir abad 14. Sedangkan Perlak sudah bangkrut atau merosot menjadi kekuatan politik lokal pada masa itu.
Kita ambil contoh lagi, penulisan yang kita kenal saat ini sebagai Samudra (1267-1524) —yakni nama dari salah satu negara tradisional yang pernah ada di Aceh— pernah ditulis sebagai Sumutra, Samutera atau Samara. Dalam catatan Cina disebut Su-men-da-la atau Xu-wen-da-na.
Contoh lain, yang dalam ucapan sehari-hari sekarang mulai disebut-sebut Pasee, bagaimanakah penulisannya yang benar? Apakah menggunakan satu atau dua abjad e. Lalu nama itu ditulis Pasai dalam catatan sejarah sekarang yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Padahal dulunya, di abad 16-17, pernah dituliskan sebagai Pasem, Pacem, dan Pacee. Bahkan pernah ditulis sebagai Pasey, atau Basma.
Berikutnya, kita mengenal sebutan dan penulisan Pidie yang jarang melahirkan berdebatan. Namun dahulu, pada akhir abad 16, ketika dua bersaudara de Houtman ditangkap oleh raja di Pidie, maka masih ditulis sebagai Pidir dan Pidi.
Nah, sekarang kita tak mengenal lagi Lamuri (900-1513), sebuah negara tradisional yang pernah diserang Sriwijaya pada 930; dan oleh kekuatan politik intenasional, yakni Chola I pada 1030 (mungkin berasal dari Thailand). Mungkin karena tertutup oleh kebesaran Aceh Darussalam maka tidak diperdebatkan. Namun, bisa juga digali kembali sebagai puncak kebesaran Aceh Besar, sebelum kejayaan Aceh Darussalam yang sekarang pusatnya berada dalam teritorial Kotamadya Banda Aceh.
Dalam catatan Cina ditulis sebagai Lamli, Lan-wu-li, Lam-bu-li atau Lan-bo-li. Dalam teks Arab disebut sebagai Rami, Ramni, Lamri, Lawri atau Lambri, dan Gupta mencatat ada yang menuliskannya Lamiri dan Lamori. Menurut Cowan yang dikutip oleh Lombard, “Lamuri berasal dari Lam-Puri, artinya “Kota Dalam” (Kota Puri).” Mungkin nama tersebut menjelaskan kontek sosial dan politik Aceh Besar saat itu bahwa Islam belum menjadi agama dan kekuatan politik yang dominan.
Lalu bagaimana dengan Aceh (1511-1903)? Ia bermula sebagai nama sebuah kota, kemudian nama sebuah kesultanan, sejalan dengan kebesaran negara tradisional itu menjadi sebuah nama (inti) teritorial politik, lalu nama sebuah bangsa, bahasa dan akhirnya suku di antara sejumlah suku yang hidup di dalam teritorial Aceh manakala telah menjadi bagian dari wilayah politik Indonesia.
Achei, penyebutan yang pertama sekali ditemukan dalam karya Barros. Sejak kemunculan karya-karya Eropa abad 16 hingga 18 sudah ditemukan penyebutan Achem, Achin, dan Atchin. Sedangkan mulai umum dikenal pada abad 17, adalah Achen. Pires masih menyebutnya sebagai Achey. Namun dalam salinan pernyataan Sultan ‘Ala ad-Din –sebagai raja yang memerintah di wilayah Bawah Angin— yang berkenaan dengan perjanjian dagang dengan Inggris pada 1602, tertulis sebagai Acheen. Sedangkan dalam salinan surat Ratu Elizabeth —sebagai Ratu Inggris, Prancis dan Irlandia— kepada Raja Aceh pada 1601 tersebutkan Achem (King of Achem).
Dalam salinan surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Prancis yang dihantarkan oleh Beaulieu, tersebutkan Achen. Suatu periode sejarah yang menjelaskan Aceh telah menaklukan kekuatan-kekuatan politik di wilayah masyrik –kerajaan Deli, Pahang, Kedah dan Perak; dan wilayah maghrib – kerajaan Pariaman, Tiku dan Paseman. Sementara Sultan Turki yang menyebut dirinya sebagai Sultan Rum menyebut Negeri Aceh Darussalam terletak di bumi masyrik.
Dalam naskah Cina abad 17 dituliskan sebagai A-ts’i dari bentuk pengucapan lama Acih, dan ada juga yang menyebutnya Ya-qi. Dalam catatan Dong xi yang kao (1618) disebut A-qi. Namun para pedagang Arab dan Persia –yang mana menurut Das Gupta menjadikan tempat peristirahatannya—lebih mengenal dengan sebutan Achin. Jika bersumberkan pada ahli sejarah Pakistan, Allama Quadri yang menemukan besarnya pengaruh Sind di Aceh, maka Lombard mendapat sebutan lainnya, yakni Achchay (yang dalam bahasa Urdu berarti menyenangkan).
Baru masuk ke abad 19 penulisan itu membaku menjadi Atjeh. Kemudian, penulisan Aceh pun mengikuti perkembangan ejaan Bahasa Indonesia setelah paruh pertama abad 20 hingga saat ini.
Perihal asal-usul nama tersebut, menurut Lombard kalau berdasarkan pada kebiasaan Melayu yang cenderung memberikan nama tempat dengan mengacu pada nama tumbuh-tumbuhan, Achi merupakan nama tanaman khas setempat (betapa pun belum ada orang yang bisa menunjukkan pohon tersebut).
DasGupta –yang menulis disertasi di Cornell University pada 1961, dan menurut pengakuan Lombard belum sempat dibacanya—mencatat adanya 2 kemungkinan asal muasal nama Aceh. Pertama, nama itu berasal dari sebuah legenda yang mengisahkan seorang putri raja yang hilang, lalu ditemukan di Sumatera oleh abangnya. Achi sebutan untuk adik perempuan tersebut. Lalu, Putri Hindu tersebut menjadi ratu di negeri yang kemudian dikenal sebagai Acheh.
Versi kedua, ada kapal yang ditumpangi oleh pedagang dari Gujarat yang masuk ke sungai Aceh –yang dahulunya bernama Chera— ketika sampai sekitar kampung Pande mereka terkena hujan lebat. Lalu, ketika mereka mendapatkan tempat istirahat, maka mereka berseru: “Acha! Acha! Acha! (yang artinya baik)” Lalu segera mereka menamakan negeri itu sebagai Negeri Achai.
Dalam buku untuk pelajaran membaca dan bahasa Aceh pada tingkat sekolah dasar pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an, versi yang terakhir ini dikisahkan kembali oleh Jauhari Ishak dan Abu Hani. Ketika ditimpa hujan lebat, maka awak kapal Gujarat itu berteduh di pohon kayu yang besar, seraya mengatakan: Atja! Atja! Atja! Atja! Atja! (yang artinya dalam bahasa Aceh: ceudah). Lalu kapal itu bertolak ke Pidie.***
Otto Syamsuddin Ishak, Modus Aceh.
|
JOIN