TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Kontroversi Foto-Foto Keji Belanda Dalam Penaklukan Aceh (2)

Monday, June 06, 2011 18:46 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
Pada edisi terdahulu Paulus Bijl sudah bertutur bahwa foto-foto keji penaklukan Aceh tetap melekat dalam ingatan khalayak Belanda. Dalam bagian akhir bincang-bincang dengan ilmuwan budaya Belanda ini, ingin diketahui makna foto-foto itu untuk zaman sekarang.

Adakah kaitan antara missi militer Belanda di Aceh dengan missi militer Belanda di Uruzgan, Afghanistan pada zaman sekarang. Paul Bijl terlebih dahulu menjelaskan peran Gottfried van Daalen yang memimpin ekspedisi militer ke Gayo dan Alas di Aceh.

Fasih berbahasa Aceh

Dalam sejarah dia punya nama buruk, dulu waktu masih aktif juga sudah begitu. Orangnya kejam dan tanpa belas kasih. Ia juga sering bertikai dengan anak buahnya. Di dalam tentara dia juga banyak dimusuhi orang. Tapi dia fasih berbahasa Aceh. Minatnya besar sekali pada budaya Aceh. Walau begitu Paulus tetap melihat Van Daalen sebagai tokoh yang misterius, kepribadiannya punya pelbagai sisi, tentu saja sisi terpenting adalah kekejamannya.

Sikapnya ini membuat Van Daalen sering bertikai dengan bawahannya, tapi kemudian dalam pemerintahan Aceh, dalam jabatan gubernur, dia juga sering konflik dengan orang Aceh sendiri. Ini bukan saja waktu berlangsung perang penaklukan Aceh, tetapi juga ketika sudah tidak ada pertempuran lagi, ketika dia sudah menjabat gubernur itu. Jadi, bisa dikatakan Gottfried van Daalen ini bukan orang yang menyenangkan. Dan itu bukan hanya menyangkut ekspedisi keji di Gayo dan Alas, tetapi lebih luas lagi.

Van Daalen sendiri jelas bukan orang paling penting dalam penaklukan Aceh. Orang terpentingnya adalah Jenderal Van Heutsz. Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh, disebut-sebut, karena strategi militernya. Ia membangun sistem yang sekarang disebut counter guerrilla warfare, yaitu satuan marsosé kecil yang lincah dan dapat cepat bergerak. Bukan lagi pasukan besar, tapi satuan kecil supaya bisa bergerak cepat dan terarah. Dengan begitu tentara ini bisa dengan mudah menembus hutan belantara dan pegunungan. Inilah taktik militer yang digunakan Van Heutsz untuk menaklukkan Aceh. Walau begitu, orang Aceh sendiri selalu menyangkalnya. Aceh tidak pernah ditaklukkan, selalu ada perlawanan.

Yang juga penting adalah peran Snouck Hurgronje dalam penaklukan Aceh ini. Pada suatu ketika, Van Heutsz dan Snouck Hurgronje bekerja sama. Snouck sendiri menulis beberapa buku tentang Aceh. Misalnya De Atjehers dan de Gajos. Snouck Hurgronje adalah seorang ilmuwan, ahli antropologi sebelum akhirnya menjadi pakar Islam. Snouck Hurgronje bertugas memahami masyarakat Aceh, dengan tujuan, kalau benar-benar kenal negara dan masyarakatnya, maka akan mudah untuk menguasai masyarakat itu. Jadi tugas pokok Snouck Hurgronje adalah mempelajari Aceh untuk bisa mengunggulinya dari segi militer dan pemerintahan.

Di sini bisa disimpulkan, dalam menguasai Aceh, Snouck Hurgronje menyumbangkan segi antropologinya dan Van Heutsz segi militernya. Tapi perlu diingat setelah kerjasama yang begitu erat ini, keduanya bertengkar dan persahabatan mereka berakhir.

Muncul ke permukaan

Ketika Aceh ditaklukkan dibuat foto-foto keji peristiwa penaklukan itu. Kajian Paulus Bijl menekuni makna foto-foto ini dalam sejarah Belanda dan juga maknanya bagi bangsa Belanda. Foto-fotonya ini saja, tanpa tahu latar belakangnya, sudah membawa makna, karena begitu kejamnya. Itu dengan tegas menunjukkan kematian orang lain, baik dari segi isi maupun penampilannya.

Apalagi kalau kita lihat foto Van Daalen dan marsosé yang dipimpinnya berdiri di atas tembok yang mengelilingi desa. Mereka tampak di atas desa, berdiri di dekat warga desa yang mati, di sini terlihat pula arti kolonialnya. Ini banyak menggerakkan orang. Yang terjadi adalah foto-foto itu di Belanda setiap kali muncul kembali ke permukaan.

Misalnya waktu terjadi debat publik tentang aksi militer Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang di Belanda disebut politioneele actie itu muncul pada tahun 1960an. Tetapi juga pada zaman sekarang, ketika Belanda berniat mengirim satuan militernya ke Uruzgan di Afghanistan.

Foto-foto ini tetap menempati posisi yang tidak nyaman dalam ingatan budaya Belanda. Secara umum bisa dibedakan dua makna yang dikandung oleh foto ini. Pertama ada kelompok yang menyatakan foto itu memperlihatkan dengan jelas kolonialisme Belanda secara keseluruhan di Indonesia. Itu menjadi lambang kolonialisme.

Di pihak lain ada pula kelompok yang menyatakan itu cuma perkecualian. Itu hanya dulu dan di sana. Orang-orang ini punya gambaran Hindia yang molek seperti zaman tempo dulu, Hindia yang penuh kenangan indah. Kelompok ini memang harus berbicara tentang foto ini, karena itu tidak bisa dihindari. Tapi bagi orang-orang yang suka nostalgia ini, foto-foto itu tidaklah terlalu penting.

Aceh Afghanistan

Berlangsung debat tak kunjung habis di Belanda, karena foto-foto ini membangkitkan perasaan tidak nyaman. Mereka bertanya-tanya, itulah Belanda? Masak Belanda melakukan hal seperti itu? Mereka malu, karena foto ini tidak cocok dengan gambaran orang mengenai Belanda.

Belanda selalu menganggap dirinya sebagai korban, korban Jerman dan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Dalam foto-foto ini jelas terlihat bahwa Belanda adalah pelakunya. Itu membangkitkan perasaan tidak nyaman. Apalagi selama ini orang beranggapan Belanda itu negara kecil yang sepak terjangnya selalu baik-baik saja. Dengan foto ini maka sepak terjang Belanda jadi lebih rumit lagi. Dulu begitu, sekarang juga tetap begitu, misalnya dalam missi ke Afghanistan. Belanda selalu beranggapan membawa yang baik untuk Afghanistan. Foto seperti ini merusak anggapan itu.

Sebelum melakukan missi ke Uruzgan di Afghanistan, pasukan Belanda memang kembali mempelajari situasi Aceh, terutama Perang Aceh yang berlangsung antara tahun 1873 sampai 1904. Ada beberapa alasan mengapa hal itu dilakukan. Salah satunya adalah gagasan counter insurgency, di sini Kementerian Pertahanan Belanda ingin mempelajari bagaimana Jenderal Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh. Juga apa yang bisa dipelajari dari hal itu.

Di pihak lain, Perang Aceh itu berlangsung pada periode Politik Etis. Ini juga merupakan inspirasi untuk zaman sekarang. Ada seorang perwira tinggi Belanda yang bicara tentang Pendekatan Belanda, Dutch Approach. Menurutnya kita ke Uruzgan bukan untuk memerangi Taliban, tapi untuk membuat mereka tidak diperlukan lagi.

Di sinilah unsur paternalismenya. Pemikiran seperti itu dilatarbelangi pendapat bahwa orang-orang di Uruzgan tidak bisa mengurus diri sendiri. Karena itu Belanda harus ke sana untuk membantu mereka. Gagasan seperti ini sudah ada sejak Indonesia masih dijajah Belanda. Penguasa kolonial sangat mencurigai penguasa lokal, mereka dituduh memperlakukan penduduk setempat dengan buruknya. Karena itu di Eropa muncul berbagai gagasan soal ini. Inggris misalnya datang dengan gagasan White Man's Burden, Prancis punya gagasan Mission Civilisatrice, dan Belanda datang dengan Politik Etis.

Gagasannya adalah Eropa punya cara yang lebih baik. Rakyat setempat tidak tahu dan tidak paham. Kalau pemimpin setempat itu bisa diusir, maka rakyat akan sadar bahwa hidup di bawah naungan bendera Eropa akan lebih nyaman. Jadi unsur paternalisme itu masih ada dengan kuatnya.

Ketika sikap parternalistis itu sekarang kembali dilanjutkan, kita bisa bertanya benarkah Belanda tidak belajar dari masa lampaunya di Aceh? Paulus Bijl segera menyatakan bahwa belajar dari masa lampau selalu sangat rumit. Yang jelas sekarang sudah tidak ada wilayah koloni lagi. Kolonialisme seperti yang dikenal dulu sekarang sudah tidak ada lagi. Indonesia sudah merdeka dan Belanda sudah tidak menentukan lagi di Indonesia.

Selain itu juga sudah ada pelbagai organisasi internasional yang berupaya menjaga dan meyebarkan demokrasi. Tetapi ternyata masih ada saja gagasan-gagasan kolonial, misalnya sikap paternalisme itu. Jadi ada yang sudah berubah tapi ada juga yang tetap seperti dulu.

Yang juga perlu diingat adalah lembaga-lembaga internasional yang dibangun bersama, seperti PBB, ternyata juga rentan terhadap pengaruh negara-negara besar. Di satu pihak harus terjadi banyak hal, misalnya karena IMF dan Bank Dunia tidak berperan baik di negara-negara yang tidak begitu maju. Politik hutang negara-negara miskin juga tidak menguntungkan mereka, jadi masih banyak yang harus diperbaiki.

Di pihak lain kita juga harus awas supaya hubungan-hubungan yang sudah ada tidak memburuk. Di situ masih banyak perimbangan yang rentan. Karena itu kita tidak bisa beranggapan bahwa semuanya akan tetap baik.

Jadi warga negara

Dulu Politik Etis akhirnya berdampak lain dari yang diharapkan Belanda, karena dari situ lahir pemuda-pemudi yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Menarik untuk meraba bagaimana dengan politik di Afghanistan, akankah hasilnya juga lain dari yang diharapkan dunia Barat?

Paulus Bijl mengaku pertanyaan seperti ini sangat sulit menjawabnya. Salah satu kesalahan fundamental Belanda di Indonesia adalah bahwa warga Hindia Belanda waktu itu tidak pernah diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka. Dengan kata lain, mereka tidak pernah menjadi warga negara. Pendapat mereka tidak pernah didengar, mereka selalu diabaikan. Jelas mereka tidak mau.

Kalau akhirnya warga Afghanistan berhasil diyakinkan soal demokrasi dan demokrasi itu benar-benar dipraktekkan, maka missi militer ke Afghanistan akan bisa berhasil. Tapi orang-orang Afghanistan sendiri juga harus mau. Tidak bisa dipercaya bahwa sebuah sistem, seperti demokrasi, bisa ditanamkan dari luar. Kalau orang-orang di sana benar-benar mau punya masyarakat yang aman sentausa, maka itu akan bisa terlaksana. Kalau tidak maka keadaannya akan makin rumit. Karena jelas kita tidak bisa memaksakan sesuatu dari luar. Itu tidak pernah jalan di Hindia Belanda dan juga tidak akan jalan di Afghanistan.

Sekarang pemerintah Belanda berminat kembali mengirim satuan polisi ke Kunduz, Afghanistan, dengan tugas melatih polisi setempat. Mayoritas anggota parlemen Belanda sudah menyetujui rencana ini.

*****
Foto Pembantaian Belanda di Kuta Reh (1)
Foto Pembantaian Belanda di Kuta Reh (2)
Foto Pembantaian Belanda di Kuta Reh (3)
Foto Pembantaian Belanda di Kuta Reh (4)
Foto Pembantaian Belanda di Kuta Reh (5)
*****

KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved