Ketika makam Tun Sri Lanang ditemukan di Aceh, tepatnya di Samalanga, ramai para sarjana yang tidak mampu berkutat bahwa Tun Sri Lanang, telah lama bersemayam di sana. Beliau tidak pernah membangunkan diri untuk dikaji dan diteliti, apalagi mengundang sanak famili untuk berdoa di kuburannya di tepi Sungai Bate Illiek.
Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (*
BARU-BARU ini saya menghadiri Seminar Internasional mengenai Islam di dalam Dunia Melayu. Seminar yang dihadiri lebih dari 50 pemakalah dilaksanakan di Bandung pada 20-22 November 2011. Ide dasarnya adalah bagaimana perkembangan Islam di alam Melayu dan siapa saja yang menjadi ikon Dunia Melayu. Sebagian ide dasar dari seminar tersebut, saya tulis dalam majalah Dewan Budaya, majalah terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur, edisi Oktober, dengan judul “Makna Satu Malaysia bagi Aceh.” Artikel tersebut menjadi nafas acara di Bandung dengan beberapa seminar lainnya yang telah dilaksanakan ketika saya berada di Thailand Selatan pada tahun 2006 dan 2007.
Seminar-seminar di atas adalah upaya untuk mempertegas jatidiri Melayu dan Islam pada era kontemporer. Misinya bagaimana memunculkkan konsep “1Melayu” dan mengawinkannya dengan konsep ASEAN Community 2015, yang sedang menjadi agenda ASEAN. Agenda-agenda masa depan “1Melayu” ini memang dikerjakan secara bertahap, mengingat Malaysia sudah memiliki konsep “1Malaysia” sebagai bagian dari usaha penyatuan perkauman di Malaysia. Jadi, pesan seminar-seminar yang bertarap internasional ini adalah bagaimana mempersiapkan umat Islam di Asia Tenggara untuk menghadapi ASEAN Community. Di sinilah peran kita bagaimana nilai-nilai ke-Melayu-an dapat menjadi dasar pemikat dan pemersatu di rantau Asia Tenggara.
Dalam pada itu, usaha memunculkan konsep “1Melayu” berawal dari cerita Tun Sri Lanang, salah seorang pengarang Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu. Sengaja dibangkitkan beliau dari kuburan di Samalanga, supaya nama besar Tun Sri Lanang menjadi penyatu identitas Melayu di Rantau Asia Tenggara. Beberapa kajian seperti Muhammad Haji Salleh, Muhammad Yusoff Hashim, A. Samad Ahmad, hingga ke Linehan dan Leonard Y. Andaya kerap menyebutkan Aceh, Johor, Melaka, dan Tun Sri Lanang adalah satu episode sejarah Dunia Melayu yang tidak dapat diabaikan. Bahkan Andaya menyebutkan peran Aceh pada abad ke-16 dan 17 sangat signifikan dalam mempertegas jati diri orang Melayu. Pengakuan serupa juga ditulis oleh Syed Mohd. Naquib al-Attas, sebagai penafsir pemikiran Hamzah Fansuri dan Syaikh Nurdin Ar-Raniry. Argumen utamanya adalah bagaimana membayangkan Melayu tanpa Aceh di dalamnya.
Ketika makam Tun Sri Lanang ditemukan di Aceh, tepatnya di Samalanga, ramai para sarjana yang tidak mampu berkutat bahwa Tun Sri Lanang, telah lama bersemayam di sana. Beliau tidak pernah membangunkan diri untuk dikaji dan diteliti, apalagi mengundang sanak famili untuk berdoa di kuburannya di tepi Sungai Bate Illiek. Hanya karya Tun Sri Lananglah yang diteliti oleh para peneliti di atas. Setelah itu, sejak tahun 2005 hingga 2010, setiap karya mengenai akhir hidup Tun Sri Lanang, selalu berakhir penuh misteri. Karya-karya terbaru mengenai Dunia Melayu, sering menganggap bahwa Tun Sri Lanang mangkat di Aceh atau pernah ditawan di Aceh. Di sini peran sarjana lokal seperti yang dilakukan oleh M. Adli Abdullah telah begitu membanggakan dalam membangkitkan Tun Sri Lanang dari kuburan.
Saat ini, ketika usaha membangkitkan Tun Sri Lanang dari kuburan, tidak sedikit mereka yang mendapat aura positif, mulai dari mengaku keluarga Tun Sri Lanang, hingga membuat berbagai kajian mengenai Tun Sri Lanang. Namun, sejauh penulusuran sejarah penemuan ini, usaha sarjana lokal dari Samalanga ini dalam memperkenalkan isu Tun Sri Lanang kepada dunia luar, telah menguncangkan sejarah Melayu Kontemporer, minimal setiap ada karya tentang Tun Sri Lanang, selalu merujuk pada penemuan putera Aceh tersebut. Orang yang mencoba membangkitkan Tun Sri Lanang dari kuburan, bukanlah daripada keluarga atau sanak saudara. Sarjana lokal ini hanya menemukan cara bagaimana memahami dan mendekati sejarah Melayu dari aspek arkeologis dan antropologis.
Lebih dari itu, usaha untuk mengokupasi keluhuran Tun Sri Lanang pada geneologis, ternyata telah mengurangkan semangat dan pengaruh Tun Sri Lanang itu sendiri. Dengan kata lain, pengaruh Tun Sri Lanang di Malaysia hanya dikenal dengan nama dan karya. Demikian pula, pengaruh beliau di Aceh tidak begitu dihargai dengan karya dan usaha nyata tentang menghidupkan kembali spirit ke-Melayu-an. Agaknya, kemunculan spirit yang begitu tiba-tiba terhadap sosok Tun Sri Lanang memang patut dipertanyakan dari sisi akademik.
Hal ini disebabkan sebelum 2005, tidak ada satupun usaha dari keluarga ataupun sarjana yang berani mengklaim bahwa situs sejarah di Samalanga satu penggal riwayat hidup Tun Sri Lanang di Aceh. Inilah kemudian yang menjadi misteri mengapa falsafah “lembu punya susu, sapi punya nama” tiba-tiba muncul. Pertanyaannya adalah mengapa sudah seratus tahun lebih Tun Sri Lanang bersemayam di bumi Aceh, tidak ada satu pun sarjana yang datang menjenguk atau pun mencoba menulis kisah hidupnya di Samalanga.
Saya telah mencoba menukilkan kekhawatiran mengenai perkembangan ilmu sosial di Aceh (Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2011). Di mana perhatian terhadap situs sejarah hanya menjadi seremoni atau upaya menaikkan kelompok tertentu. Dari beberapa perjalanan di Aceh, situs-situs sejarah memang masih mengundang sejumlah misteri. Lagi-lagi sarjana lokal di Aceh Utara, seperti Tgk. Taqiyuddin, siang dan malam melakukan khalud intelektual di tepi kuburan tempoe doeloe di kawasan Samudera Pasai. Petunjuknya adalah melalui kejujuran dan ketulusan untuk melihat dan memahami bagaimana situs sejarah muncul di Aceh. Sebaliknya yang muncul dari pihak luar adalah situs sejarah di Aceh menjadi bukan ajang akademik, melainkan ajang untuk mencari jatidiri yang sudah hilang selama ratusan tahun.
Terkait dengan Tun Sri Lanang dan mimpi “1Melayu” memang telah dilakukan sejak tahun 2005, di mana “1Melayu” harus dimulai dari Aceh dengan cara membangkitkan semangat dan spirit para tokoh Melayu. Naquib Al-Attas membangkitkan spirit Hamzah Fansuri dan Nurdin Ar-Raniry hingga tuntas. Karel A Steenbrik membangkitkan semangat perbandingan agama dari spirit Nurdin Ar-Raniry. A.Johns membangkitkan spirit tafsi Alquran di dunia Melayu dari Syaikh Abdur Rauf Singkili. Begitulah kerja tuntas para sarjana dalam membangkitkan semangat keilmuan dari seorang cendekiawan yang sudah meninggal.
Inilah tugas mulia seorang peneliti, apalagi jika mereka bersentuhan dengan kuburan atau spirit keruhanian seorang tokoh besar. Ilmu akan mengalir jika diteliti dan dikaji secara berterusan. Ilmu bukan untuk sekadar mencari sensasi atau membuat seolah-olah begitu kecil orang lain dalam usaha membangkitkan satu episode bangunan keilmuan. Falsafah keilmuan inilah yang ditanamkan oleh para pujangga Melayu, di mana saling menghargai satu sama lain. Dalam tradisi Melayu, salah satu sikap dan karakter yang amat mulia adalah budi. Inilah puncak dan kontribusi Tun Sri Lanang dalam meninggalkan budi bagi generasi Melayu berikutnya.
***
* Penulis adala Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
dan Research Fellow di Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Serambinews.
|
JOIN