Jika negeri belahan Asia Barat sana ada yang mendapat julukan sebagai “Negeri Seribu Satu Malam”, kami menilai Aceh sebagai negeri seribu satu hikayat. Gelar ini kami berikan untuk Aceh dengan tanpa menafikan gelar-gelar lainnya seperti Serambi Makkah, Tanah Rencong, Negeri Iskandar Muda, Negeri Syariat Islam, Daerah Modal, atau julukan lainnya.
Gelar “Seribu Satu Hikayat” kami berikan karena Aceh memang banyak menyimpan kisah lama, baik suka, duka, luka, nestapa, sengsara, air mata, canda, tawa, atau kisah bahagia akan kejayaan Iskandar Muda yang selalu dikenang sepanjang zaman. Kisah-kisah itu, di Aceh bukan lagi menjadi sebuah dongeng, tapi dianggap sebagai hikayat. Karenanya, kami menyebut Aceh “Negeri Seribu Satu Hikayat”.
Gelar “Seribu Satu Hikayat” kami berikan karena Aceh memang banyak menyimpan kisah lama, baik suka, duka, luka, nestapa, sengsara, air mata, canda, tawa, atau kisah bahagia akan kejayaan Iskandar Muda yang selalu dikenang sepanjang zaman. Kisah-kisah itu, di Aceh bukan lagi menjadi sebuah dongeng, tapi dianggap sebagai hikayat. Karenanya, kami menyebut Aceh “Negeri Seribu Satu Hikayat”.
![]() |
Naskah Hikayat |
Secara sederhana, hikayat adalah cerita yang diyakini kejadiannya pada suatu masa, yang diceritakan kembali pada masa selanjutnya. Karena itu, hikayat dapat berupa legenda, syair, sejarah dan sejenisnya. Namun, belakangan istilah hikayat semakin populer digunakan pada setiap kisah yang juga berupa dongeng—sulit dibuktikan kebenarannya. Anggapan dongeng atau cerita fiksi lainnya dianggap oleh si penulis sebagai hikayat, barangkali berdasarkan ketajaman dan kelantangan penyampaian ujaran bertuturnya. Ini adalah era kemajuan sastra dalam berkontemplasi, maka terhadap sebuah cerpen pun, si pengarang suka menyebut karyanya dengan “hikayat”.
Terlepas dari beragam warna hikayat itu, di Aceh, pada zaman dahulu, hikayat juga dijadikan sebagai senjata melawan kaphé peunjajah. Salah satu hikayat yang dikenal mampu menggelorakan semangat juang bangsa dan masyarakat Aceh kala itu adalah Hikayat Prang Kompeni atau Hikayat Prang Sabi. Hikayat ini diciptakan oleh Tgk. Chik Pante Kulu alias Abdul Karim yang kemudian populer dengan sebutan “Do Karim”.
Dalam Hikayat Prang Kompeni disebutkan bahwa setiap yang mati dalam perang melawan kaphé mendapat pahala syahid dan bidadari syurga menanti orang-orang yang syahid tersebut. Kemudian, karena melawan penjajah demi mempertahankan wilayah dan bangsa juga disebutkan mendapat pahala syahid, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun menggelorakan Hikayat Prang Kompeni dalam melawan pemerintahan Republik Indonesia dengan menyatakan mati melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi adalah juga mati syahid. Demikian sebaliknya, aparat keamanan RI pun beranggapan akan mati syahid jika terbunuh oleh GAM/TNA. Alasannya serupa, yakni sama-sama membela bangsa dan tanah air. Maka, Aceh adalah negeri seribu satu hikayat.
|
(Alm)Tgk. H. Adnan PMTOH |
Selain hikayat-hikayat yang disebutkan di atas, dalam masyarakat Aceh dikenal juga hikayat PMTOH. Hikayat ini dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan. Beliau dilahirkan di Meukek, Aceh Selatan, Desember 1931. Adapun nama PMTOH bukanlah judul hikayat sebagaimana nama-nama hikayat di atas. PMTOH merupakan salah satu jenis irama hikayat. Penamaan PMTOH diambil dari nama sebuah mobil bus penumpang lintas Sumatera, yang memiliki corong klakson di kiri kanan bagian depan mobil.
Mobil PMTOH sering digunakan Tgk. Adnan berkeliling saat membawakan hikayat-hikayatnya. Saat bermain, dia suka membunyikan klakson mobil PMTOH sambil memencet hidungnya. Karena itulah, gelar PMTOH akhirnya disematkan kepadanya hingga jadilah namanya Tgk. H. Adnan PMTOH.
Kata Tgk. Adnan, dia berguru hikayat kepada seorang lelaki tua di Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan (sekarang masuk wilayah Aceh Barat Daya). “Namanya Mak Lapeh. Saya belajar kepadanya selama tiga tahun,” kata Adnan semasa masih hidupnya, seperti divisualkan dalam film “Pujangga Tanpa Pikir” karya Teuku Afifuddin.
Kelihaian Adnan dalam membawakan hikayat cepat dan lekas serupa air mengalir membuat ia mendapat gelar “Trobadur”. Putra Panglima Polem itu menghembuskan napas terakhir di usianya yang ke 75 (Selasa, 4 Juli 2006). Setelah kepergian beliau, kesenian tutur pun terkesan hilang dari Aceh. Dulu, Adnan acapkali tampil di depan masyarakat—di usia tua, dia main di TVRI. Hal ini membuat hikayat Aceh semakin populer ke dunia luar. Dia terus menyampaikan hikayat-hikayat ke sekeliling Aceh, bahkan ke luar Aceh. Sungguh Aceh dikenal sebagai negeri penuh hikayat. Namun, sekarang keresahanlah yang diterima Aceh manakala tukang hikayat legendarisnya sudah tiada. Akankah Aceh masih akan menjadi negeri hikayat?
jkma-aceh.org
|
JOIN