TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Mengenang 12 Tahun Tragedi Beutong Ateuh

Saturday, July 23, 2011 12:07 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior

BEUTONG Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. 

Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan. Di daerah ini pula Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Ditiro pernah bertahan dari kejaran tentara Belanda, walau akhirnya mereka tertangkap juga. 

Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga setempat enggan meninggalkan lembah Beutong Ateuh. Sebelum dibangun jalan untuk kendaraan roda empat tahun 1996, warga yang ingin ke dalam dan keluar kecamatan ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya dengan menelusuri hutan dan naik-turun lembah. Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Setelah kabupaten Aceh Barat mengalami pemekaran sekitar tahun 2002 dan terbelah jadi tiga kabupaten baru, yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya, maka Beutong Ateuh masuk dalam kabupaten Nagan Raya. 

Sejak pemekaran itu pula jalan ke Beutong Ateuh mulai diaspal. Perjalanan sekarang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 35 kilometer atau tiga jam perjalanan dari Ule Jalan, Beutong Bawah. Jalan aspal membuat banyak warga Beutong Ateuh lalu-lalang ke kota Nagan Raya dan Meulaboh, ibukota Aceh Barat, terutama mereka yang membawa hasil pertaniannya. Jalan ini juga dimamfaatkan warga dari Takengon, Aceh Tengah dan Gayo untuk membawa hasil pertanian mereka ke kota Nagan Raya dan Meulaboh.

DARI atas bukit ini kain putih usang terlihat berkibar di areal pesantren di kejauhan. Di sekeliling areal itu terlihat kubah mushala, atap rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan dengan sungai Beutong. Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh ini pada tahun 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. 

Pesantren Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, silat atau seni bela diri, dan berbagai ilmu spiritual lainnya. Proses belajar dan mengajar dipimpin oleh sang tengku dengan dibantu seorang kepercayaannya. Selain belajar bermacam ilmu, para murid juga diajarkan berkebun. Mereka bertanam nilam, cabai, dan bermacam sayuran. Hasil kebun tadi berguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadi ajang kegiatan santri untuk bekerja sama serta saling bantu.

Kegiatan sehari-hari para santri dimulai dari sholat shubuh di pagi hari dilanjutkan dengan dzikir. Kemudian para santri itu bermujahadah sambil melakukan kegiatan lainnya seperti bertani dan kerja bakti memperbaiki lingkungan sekitar. Kegiatan bermujahadah di Babul Al Nurillah merupakan satu kekuatan religius yang sangat penting dalam upaya membentuk ketaqwaan kepada Allah.

”Tujuan kami di sini bermujahadah yaitu memerangi nafsu, hasrat dan iri dengki sesama manusia. Inilah yang kami perangi dengan mujahadah. Mujahadah sebagaimana disebutkan dalam hadist yang artinya barangsiapa yang mengasingkan dirinya dengan mujahadah Allah akan memperbaiki sir-nya dan hatinya,” kata Tengku Iskandar, salah seorang murid Bantaqiah. 

Selain mereka yang menetap di pesantren ini, masih ada lagi orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren. Sebagian besar murid adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak.

Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini.

Jumlah murid yang pernah menuntut ilmu di Babul Al Nurillah tercatat lebih kurang 30.000 orang. Mereka berasal dari berbagai pelosok Aceh, Medan, Jakarta, bahkan negeri jiran Malaysia. Lulusan pesantren hidup dan bekerja di bidang yang beragam. Ada petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan anggota TNI. 

Bantaqiah orang yang teguh dalam berpendirian. Ia pernah menolak bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh. Tak jarang ia jadi sasaran fitnah mereka yang berseberangan dengannya. Ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Pada tahun 1985 ia dan beberapa muridnya dijuluki gerakan Jubah Putih. 

Ia pun dikelompokkan sebagai pembangkang. Untuk melunakkan hatinya, pemerintah daerah Aceh membangunkan sebuah pesantren untuknya. Namun pesantren baru ini berdiri di kecamatan Beutong Bawah. Lokasinya yang jauh dari Babul Al Nurillah membuat ia dan para muridnya menolak pesantren baru tersebut.. 

Penolakan ini berbuah petaka. Hubungan Bantaqiah dan pemerintah jadi kurang hangat. Pada tahun 1992 ia dituduh sebagai Menteri Urusan Pangan Gerakan Aceh Merdeka. Ia kemudian dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun. 

Ketika Habibie menjabat presiden ketiga Indonesia dan berkunjung ke Aceh, masyarakat meminta kepadanya untuk melepaskan sang tengku dari penjara. Habibie mengabulkan tuntutan itu. Bantaqiah dibebaskan dari bui.

***

JUMAT, 23 Juli 1999, pukul 08.00, pasukan TNI mulai memantau pesantren dari seberang sungai. Pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya kira-kira 100 meter di sebelah timur pesantren.. Pukul 10.00 pasukan tersebut mulai mendekati pesantren. Pukul 11.00 pasukan berseragam dan bersenjata lengkap mulai memasuki pekarangan pesantren Babul Al Nurillah. Mereka memiliki ciri lain: wajah sebagian dari mereka berpulas cat hitam dan hijau. Pukul 11.30 mereka mulai berteriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka. 

Sudah menjadi kebiasaan para santri untuk berkumpul di hari Jumat. Setelah cukup lama mendengar serdadu-serdadu itu berteriak-teriak, Tengku Bantaqiah pun datang menemui mereka bersama seorang muridnya. Hasilnya? Semua santri laki-laki disuruh turun oleh tentara, lalu dikumpulkan di tanah lapang dan diperintahkan berjongkok menghadap sungai Beutong. Santri perempuan tetap di lantai atas. Bangunan pesantren terbuat dari papan dan balok kayu, berlantai dua.

Tengku Bantaqiah diminta menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena ia merasa tidak pernah memiliki senjata yang dimaksud tentara, ia membantah keras tuduhan tersebut. Pernyataan sang tengku ternyata tak memuaskan mereka. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren ikut dipertanyakan.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan. 

Melihat perlakuan kasar terhadap putranya ini, Bantaqiah tak tinggal diam. Ia mencoba menghampiri putranya. Di saat itu pula, terdengar aba-aba menembak. Bantaqiah diberondong dengan senjata pelontar bom. Ia jatuh tersungkur ke tanah.

Pasukan lantas mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri, membabi-buta. Lima puluh enam orang meninggal seketika. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah. 

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri, yang entah karena rasa putus asa atau marah, langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Tentara –tentara itu serta-merta menembak ke arah jurang. 

Nasib para santri yang tersisa tak diketahui. Mereka masih dinyatakan hilang oleh keluarganya sampai hari ini. 

Pada pukul 16.00, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad Bantaqiah, putra, dan murid-muridnya. Sedangkan santri perempuan dan istri-istri almarhum digiring menuju mushola yang berada di seberang sungai. Mereka dilarang menyaksikan penguburan itu. Belum puas hati mereka, pasukan ini lantas membakar kitab-kitab agama dan Alquran di pesantren.

KAIN putih usang itu terus melambai-lambai di areal pemakaman, yang berada di samping mushola pesantren Babul Al Nurillah. Di situlah Bantagiah dan para santrinya terbaring selamanya. Dua belas tahun sudah lewat sejak kejadian tersebut, tetapi tiap tanggal 23 Juli setiap tahun keluarga almarhum Bantaqiah melaksanakan doa bersama untuk mereka yang meninggal dunia. 

Kita sama-sama mengenang 12 tahun tahun tragedi pembantaian almarhum Tengku Bantaqiah. Harapan   semoga tidak terulang lagi, karena cukup pedih akibat ulah kebiadaban manusia. Namun yang perlu kita ketahui apa tujuan mereka dibunuh, sampai hari ini masalahnya belum ada yang bertanggung jawab. Atas nama manusia belum ada yang mampu memberi tanggung jawab atas kejadian yang menimpa mereka.

Kegiatan belajar-mengajar di Babul Al Nurillah tetap berlangsung sebagaimana saat Bantaqiah masih hidup, meski serba terbatas. Pesantren ini belum memiliki dana untuk mengganti seluruh Alquran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar tentara 12 tahun tahun lalu. Pembakaran itu bersamaan dengan pembakaran seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan barang-barang milik Bantaqiah serta santrinya yang diberondong peluru.

Kini Beutong Ateuh tak hanya dikenang sebagai lembah hijau nan subur, tetapi lembah kesedihan. Warga desa masih belum bisa melupakan peristiwa itu dan luka-luka di hati mereka yang ditinggalkan belum lagi sembuh. Tidak hanya memperingati, Peringatan ini justru memberi peringatan bahwa negara Indonesia belum bertanggung jawab terhadap seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama konflik hampir 30 tahun. Para pelaku kekerasan itu masih bebas berkeliaran, tak tersentuh hukum.

*** 


*) Feri Kusuma adalah aktivis Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Aceh, acehfeature.org


KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved