Meunasah Tgk. Fakinah di Blang Miro, Simpang Tiga, Aceh Rayeuk. |
Ketika membaca profil Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia rasanya tidak lengkap bila kita tidak membaca profil Tengku Fakinah. Tetapi siapa sebenarnya Tengku Fakinah ini. Bila dilihat dan gelarnya Tuengku. Tentunya kita bisa menebak bahwa ia adalah Seorang tokoh agama. Memang ia adalah pengasuh pondok pesantren (dayah) yang terjun dan mengerahkan santrinya untuk berjuang melawan kebiadaban Belanda.
Tengku Fakinah yang biasanya disebut dengan Teungku Faki adalah Puteri dan Tengku Datuk dan Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk) Mukim Lam Kerak VII Mukim Baet, Sagi XXII Mukim Aceh Besar.
Ayahnya yang bernama Tengku Datuk juga disebut dengan Tengku Asahan karena pada masa remajanya merantau ke Asahan Aceh Selatan. Sekembalinya dan Asahan ía menikah dengan Cut Mah puteri dan Tengku Cik Lam Pucok. Pada tahun 1856, Perkawinan Cut Mah dengan Tengku Datuk dikaruniai seorang puteri yang bernama Tengku Fakinah.
Pada masa kecil hingga remajanya. Tengku Fakinah mendapat didikan agama, jahit menjahit. dan kerajinan kerawang sutera emas dan perak. Tidak mengherankan ketika dewasa ia dikenal cebagai ahli agama dan pakar kerajinan kerawang.
Tengku Fakinah dinikahi oleh Tengku Ahmad yang bergelar Tengku Aneuk Glee pada tahun 1872. Setelah menikah Tengku Ahmad kemudian mendirikan pondok pesantren dan pasangan suami isteri itu terlibat langsung menjadi pengajar para santri-santrinya. Namun sayang satu tahun kemudian, Belanda datang dengan niat menjajah Aceh.
Tengku Ahmad menghadang serangan Belanda bersama Tengku Imam Lam Kerak dalam barisan pasukan Mukim Baet mempertahankan Pantai Cermin di laut Utee Lhue dibawah komando Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia. Serangan Belanda pada tanggal 8 April 1873 ini menewaskan Panglima Rama Setia, Imam Lam Kerak, dan Tengku Ahmad dan beberapa perwira lainnya.
Sepeninggal suaminya, Tengku Fakinah yang masih muda dan cantik itu kemudian membentuk barisan yang anggotanya adalah wanita dan janda. Tugas barisan ini adalah mengkoordinir bantuan keuangan dan logistik guna mendukung perjuangan rakyat Aceh. Barisan ini juga mempersiapkan konsumsi dan menangani pertolongan medis bagi pejuang Aceh yang terluka. Anak buah Tengku Fakinah juga terlibat aktif membantu pejuang pria menuangkan timah untuk membuat peluru.
Fungsi barisan yang kompleks tersebut mengharuskan Tengku Fakinah hilir-mudik ke semua wilayah tiga sagi untuk berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat, orang kaya. dan pihak-pihak terkait untuk mengumpulkan bantuan keuangan dan kebutuhan pokok lainnya yang diperlukan untuk mendukung perjuangan melawan Belanda. Tidak jarang karena pengabdiannya ini Tengku Fakinah harus berhadapan dengan desingan peluru dan darah.
Rakyat Aceh telah berjuang mati-matian mempertahankan Koetaraja, namun pada akhirnya Koetaraja dapat dikuasai Belanda. Hal ini memaksa pejuang Aceh memindahkan basis pertahanannya ke Lam Bhoek, Leung Bata namun basis pertahanan kedua ini juga terpaksa diserahkan ke Belanda pada tahun 1883.
Tengku Cik di Tiro (Tengku Syekh Saman) kemudian memperkuat pertahanan di daerah Aneuk Galung yang dulunya menjadi basis pertahanan Panglima Polem Nyak Banta sebelum ditawan Belanda pada tahun 1878. Bersamaa dengan penguatan pertahanan Aneuk Galung, ada tiga daerah lagi yang juga diperkuat pertahanannya yakni Lam Sa Yeun dipimpin oleh Tengku Mat Saleh. Cut Weue dipimpin oleh Tengku Fakinah, dan Bak Garot dipimpin oleh Tengku Amat (Tengku Leupong). adik ibu Tengku Fakinah.
Tengku Fakinah langsung memimpin pembangunan pertahanan daerah Cut Weue dibantu oleh Cutpo Fatimah Blang Preh, Nyak Raniah. Cutpo Habi, Cutpo Nyak Cut, dan Cut Puteh. Mereka mengerahkan anak buahnya untuk memasang pagar. menggali parit dan memasang ranjau.
Setelah Cut Weue selesai dibangun, Tengku Fakinah kemudian menikah dengan Tengku Nyak Badai dan Kampung Langa Pidie atas saran panglima lain untuk menghindari fitnah karena Ia menjadi satu-satunya panglima wanita di antara banyak panglima lainnya.
Setelah persiapan dinilai cukup, perang melawan Belanda kembali dikobarkan antara tahun 1893 dan 1895. Korban dan kedua belah pihak pun berjatuhan. Di antara pejuang Aceh yang menjadi korban adalah Tengku Mat Saleh, seorang panglima sekaligus penasihat Tengku Fakinah, yang kemudian diganti oleh Habib Kabu. seorang pejuang dan Afgan yang bermarkas di Bak Garot.
Seiring dengan meninggalnya Tengku Mat Salen dan terlepasnya daerah Cut Weue ke tangan musuh, Tengku Fakinah kemudian membangun basis perlawanan baru di daerah Ulee Tanoh.
Di antara prestasi perjuangan Tengku Fakinah yang menonjol adalah keberhasilannya menyadarkan kembali Teuku Umar ke pelukan ibu pertiwi membela agama dan bangsanya lewat sindiran yang disampaikan ke Cut Nyak Dien lalu diteruskan ke Teuku Umar.
Persahabatan Tengku Fakinah dengan Cut Nyak Dien dimulai ketika terjadi perlawanan di Muntasik, Lamsi. Sejak itu Cut Nyak Dien kemudian berkunjung ke basis perlawanan Tengku Fakinah di Lam Kerak untuk mendapatkan perbekalan logistik yang akan digunakan pasukan Teuku Umar.
Tengku Fakinah juga sering datang ke basis perlawanan Cut Nyak Dien di Lam Padang/Bitai dan beberapa tempat perlawanan Cut Nyak Dien lainnya. Latar belakang ini membuat persahabatan keduanya terjalin sangat erat dan Tengku Fakinah tidak percaya kalau kalau Cut Nyak Dien telah membelot ke pihak Belanda pada saat Teuku Umar menggunakan taktik memihak Belanda terutama pada saat terdengar isu bahwa Belanda dibantu Teuku Umar telah menyerang kota Tungkop dan atas jasanya itu Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda.
Dalam keadaan demikian Tengku Fakinah tetap teguh berjuang dan bahkan membangun tiga basis pertahanan lagi yakni di Cot Piring, Cot Raya, dan Cot Ukam. Di tengah-tengah pembangunan ketiga daerah ini, datanglah dua wanita dan Bintai mengantar sumbangan dan berjanji membantu Tengku Fakinah dalam perag fi sabilillah. Peristiwa itu menyadarkan Tengku Fakinah bahwa masih ada orang Aceh yang tetap teguh pada prinsipnya membela agama dan tanah airnya serta tidak terpengaruh Belanda.
Ketika dua wanita itu pamit pulang Tengku Fakinah titip salam dan mengirimkan pesan:
Dua perempuan itu diutus Cut Nyak Dien ke Lam Kerak untuk menyampaikan buah tangan berupa dua lembar kain hitam untuk celana, enam potong selendang. sehelai kain untuk baju prajurit wanita dan sepotong kain perang untuk selimut beserta uang sejumlah 200 rial untuk membeli sirih.
Dan Bitai, tempat tinggai Cut Nyak Dien, kedua perempuan itu langsung berangkat ke Lam Kerak, satu orang membawa beras dan satu orang lagi membawa buah tangan dan Cut Nyak Dien tersebut. Setibanya di Lam Kerak, keduanya menyerahkan buah tangan dan menyampaikan pesan dari Cut Nyak Dien :
Hubungan lisan ini kemudian mendorong Cut Nyak Dien membujuk kembali Teuku Umar untuk menyadari langkahnya dan akhirnya Teuku Umar bersedia melakukan perjuangan konfrontasi melawan Belanda.
Pasukan Belanda di pimpinan Kolonel J. W. Stempoort menyerang Lam Keraj dan beberapa kota binaan Tengku Fakinah pada tanggal 3 Juni 1896. Satu demi satu basis pertahanan Tengku Fakinah beralih tangan ke Belanda dan akhirnya Tengku Fakinah membangun basis perlawanan lagi di Cot Piring.
Empat belas hari kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Juni 1896 Belanda menyerang dan dan melululantakkan Muntasik sementara pada saat yang sama pasukan Letnan Kolonel J. B Van Heutsz mengepung daerah Aneuk Galung yang menyebabkan tewasnya Tengku Cik di Tiro pada tanggal 29 Juni 1896.
Tengku Fakinah tetap bertahan di Cot Ukam dan pada bulan Agustus mundur ke kawasan Gleleung lalu ke Inderapura. Sayang dalam persembunyiannya ini, suaminya, Tengku Badai mangkat karena diserang harimau. Pada saat kawasan Seulimum jatuh ke tangan Belanda. Tengku Fakinah kemudian mengungsi ke Lammeulo. Di tempat baru ini, Tengku Fakinah sempat tinggal di Tiro bersama Tengku Cik di Tiro Mat Jeed kemudian pindah ke Tangse dan membangun tempat tinggal di Blang Peuneulen. Di sini Tengku Fakinah membangun pondok pesantren untuk sebagai tempat pengajian para wanita.
Tetapi keberadaan Tengku Fakinah di tempat yang asri itu diketahui pihak penjajah, pada bulan April 1899 kampung itu diserang Belanda dan Tengku Fakinah bersama anak buahnya terpaksa mengungsi ke tempat lain. Sejak itu, waktunya kemudian banyak digunakan bergerilya dan satu tempat ke tempat lain mulai dan pegunungan Pasai sampai Patiamang dan Laut Tawar bersama anak buahnya seperti Pocut Lam (isteri Tuanku Hasyim banta Sultan) dan Pocut Awan (ibu Panglima Polem) sambil tetap mengajarkan agama kepada para pengikutnya.
Pada bulan 1915 Tengku Fakinah menunaikan haji setelah sebelumnya menikah dengan Ibrahim. Tengku Fakinah diantar para santri dan pengikutnya sampai ke Sabang baru kemudian bertolak ke Jeddah.
Setelah menunaikan haji, Tengku Fakinah tidak langsun pulang ke Aceh melainkan tinggal selama dua tahun di Mekkah menuntut ilmu di Masjidil Haram. Setelah suaminya meninggal pada tahun 1918 di Mekkah, baru Tengku Fakinah kembali ke Aceh. Setibanya di Lamk Keraj. Tengku Fakinah disambut hangat oleh para santri dan pengikutnya dan memimpin pesantrennya kembali.
Setelah menghabiskan waktunya selama empat puluh satu tahun di pondok pesantren, Tengku Fakinah mangkat pada tanggal 8 Ramadhan 1959 di Kampung Beuha Mukim Lam Kerak VII Mukim Baet, Aceh.
Seiring dengan meninggalnya Tengku Mat Salen dan terlepasnya daerah Cut Weue ke tangan musuh, Tengku Fakinah kemudian membangun basis perlawanan baru di daerah Ulee Tanoh.
Di antara prestasi perjuangan Tengku Fakinah yang menonjol adalah keberhasilannya menyadarkan kembali Teuku Umar ke pelukan ibu pertiwi membela agama dan bangsanya lewat sindiran yang disampaikan ke Cut Nyak Dien lalu diteruskan ke Teuku Umar.
Persahabatan Tengku Fakinah dengan Cut Nyak Dien dimulai ketika terjadi perlawanan di Muntasik, Lamsi. Sejak itu Cut Nyak Dien kemudian berkunjung ke basis perlawanan Tengku Fakinah di Lam Kerak untuk mendapatkan perbekalan logistik yang akan digunakan pasukan Teuku Umar.
Tengku Fakinah juga sering datang ke basis perlawanan Cut Nyak Dien di Lam Padang/Bitai dan beberapa tempat perlawanan Cut Nyak Dien lainnya. Latar belakang ini membuat persahabatan keduanya terjalin sangat erat dan Tengku Fakinah tidak percaya kalau kalau Cut Nyak Dien telah membelot ke pihak Belanda pada saat Teuku Umar menggunakan taktik memihak Belanda terutama pada saat terdengar isu bahwa Belanda dibantu Teuku Umar telah menyerang kota Tungkop dan atas jasanya itu Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda.
Dalam keadaan demikian Tengku Fakinah tetap teguh berjuang dan bahkan membangun tiga basis pertahanan lagi yakni di Cot Piring, Cot Raya, dan Cot Ukam. Di tengah-tengah pembangunan ketiga daerah ini, datanglah dua wanita dan Bintai mengantar sumbangan dan berjanji membantu Tengku Fakinah dalam perag fi sabilillah. Peristiwa itu menyadarkan Tengku Fakinah bahwa masih ada orang Aceh yang tetap teguh pada prinsipnya membela agama dan tanah airnya serta tidak terpengaruh Belanda.
Ketika dua wanita itu pamit pulang Tengku Fakinah titip salam dan mengirimkan pesan:
“Sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dien suruh suaminya Teuku Meulaboh datang dan perangi kota para wanita dan janda supaya orang melihat keberaniannya ...‘Pesan itu disampaikan kepada Cut Nyak Dien dan mendengar pesan tersebut, Cut Nyak Dien termenung lama, hatinya merasa tertusuk oleh kata-kata sindirian Tengku Fakinah yang baru saja disampaikan oleh dua wanita di depannya itu.
Dua perempuan itu diutus Cut Nyak Dien ke Lam Kerak untuk menyampaikan buah tangan berupa dua lembar kain hitam untuk celana, enam potong selendang. sehelai kain untuk baju prajurit wanita dan sepotong kain perang untuk selimut beserta uang sejumlah 200 rial untuk membeli sirih.
Dan Bitai, tempat tinggai Cut Nyak Dien, kedua perempuan itu langsung berangkat ke Lam Kerak, satu orang membawa beras dan satu orang lagi membawa buah tangan dan Cut Nyak Dien tersebut. Setibanya di Lam Kerak, keduanya menyerahkan buah tangan dan menyampaikan pesan dari Cut Nyak Dien :
"...Atee Cut Nyak Dien matong lagee set lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameusireuk." (Kurang lebih artinya: Hati Cut Nyak Dien masih seperti dalam perjuangan semula dan saya menyadari langkah suami saya yang tergoda).Pesan Cut Nyak Dien itu dijawab Tengku Fakinah. ‘Nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan powoe langkah kamoe lagee sot” (Kurang lebih artinya: Hubungan lisan Tengku Faki yang saudari sampaikan kepada saya, mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami ke jalan semula).
Hubungan lisan ini kemudian mendorong Cut Nyak Dien membujuk kembali Teuku Umar untuk menyadari langkahnya dan akhirnya Teuku Umar bersedia melakukan perjuangan konfrontasi melawan Belanda.
Pasukan Belanda di pimpinan Kolonel J. W. Stempoort menyerang Lam Keraj dan beberapa kota binaan Tengku Fakinah pada tanggal 3 Juni 1896. Satu demi satu basis pertahanan Tengku Fakinah beralih tangan ke Belanda dan akhirnya Tengku Fakinah membangun basis perlawanan lagi di Cot Piring.
Empat belas hari kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Juni 1896 Belanda menyerang dan dan melululantakkan Muntasik sementara pada saat yang sama pasukan Letnan Kolonel J. B Van Heutsz mengepung daerah Aneuk Galung yang menyebabkan tewasnya Tengku Cik di Tiro pada tanggal 29 Juni 1896.
Tengku Fakinah tetap bertahan di Cot Ukam dan pada bulan Agustus mundur ke kawasan Gleleung lalu ke Inderapura. Sayang dalam persembunyiannya ini, suaminya, Tengku Badai mangkat karena diserang harimau. Pada saat kawasan Seulimum jatuh ke tangan Belanda. Tengku Fakinah kemudian mengungsi ke Lammeulo. Di tempat baru ini, Tengku Fakinah sempat tinggal di Tiro bersama Tengku Cik di Tiro Mat Jeed kemudian pindah ke Tangse dan membangun tempat tinggal di Blang Peuneulen. Di sini Tengku Fakinah membangun pondok pesantren untuk sebagai tempat pengajian para wanita.
Tetapi keberadaan Tengku Fakinah di tempat yang asri itu diketahui pihak penjajah, pada bulan April 1899 kampung itu diserang Belanda dan Tengku Fakinah bersama anak buahnya terpaksa mengungsi ke tempat lain. Sejak itu, waktunya kemudian banyak digunakan bergerilya dan satu tempat ke tempat lain mulai dan pegunungan Pasai sampai Patiamang dan Laut Tawar bersama anak buahnya seperti Pocut Lam (isteri Tuanku Hasyim banta Sultan) dan Pocut Awan (ibu Panglima Polem) sambil tetap mengajarkan agama kepada para pengikutnya.
Pada bulan 1915 Tengku Fakinah menunaikan haji setelah sebelumnya menikah dengan Ibrahim. Tengku Fakinah diantar para santri dan pengikutnya sampai ke Sabang baru kemudian bertolak ke Jeddah.
Setelah menunaikan haji, Tengku Fakinah tidak langsun pulang ke Aceh melainkan tinggal selama dua tahun di Mekkah menuntut ilmu di Masjidil Haram. Setelah suaminya meninggal pada tahun 1918 di Mekkah, baru Tengku Fakinah kembali ke Aceh. Setibanya di Lamk Keraj. Tengku Fakinah disambut hangat oleh para santri dan pengikutnya dan memimpin pesantrennya kembali.
Setelah menghabiskan waktunya selama empat puluh satu tahun di pondok pesantren, Tengku Fakinah mangkat pada tanggal 8 Ramadhan 1959 di Kampung Beuha Mukim Lam Kerak VII Mukim Baet, Aceh.
***
Oleh Hj. Pocut Haslinda Hamid Azwar, Modus Aceh.
|
JOIN